Wednesday, January 22, 2014

Contoh Makalah Pendidikan Metode Pendidikan Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Di era multikulturalisme dan pluralisme ini, pendidikan Islam mendapat banyak tantangan karena dianggap tidak mampu membebaskan peserta didik dari eksklusivitas agama. Wacana kafir-iman, surga-neraka, benar-salah, halal-haram selalu menjadi bahan pelajaran penting yang tidak boleh ditinggalkan. Pelajaran tersebut hanya bertujuan untuk menguatkan keimanan seseorang terhadap agama tanpa dibarengi dengan kesadaran toleransi atau menghormati agama lain. Di sekolah-sekolah Islam, dari pendidikan yang paling bawah (madrasah ibtidaiyyah), sampai perguruan tinggi, fenomena ini tumbuh dengan subur.
Pendidikan Islam yang bernuansa doktrinal ini menciptakan kesadaran umatnya untuk memandang agama lain dengan berbeda, bahkan nyaris bermusuhan. Karena inilah pendidikan Islam dianggap gagal mencetak kader umat yang santun dan toleran. Itu sebabnya, hubungan antar manusia dan antar agama saat ini sudah harus mengalami pergeseran pola (paradigm shift).

Kalau dulu, hubungan antaragama ditandai dengan antagonisme polemik dan upaya untuk menundukkan dan mengajak pihak lain ke agama kita. Saat ini, hubungan tersebut lebih menekankan dialog dan pengertian.

Kegagalan pendidikan Islam dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama akan membangkitkan semangat radikal Islam. Sebaliknya, keberhasilan dalam menumbuhkan toleransi beragama sangat bergantung pada kemampuan umat Islam untuk menanamkan kesadaran masyarakat melalui instrument pendidikan. Seharusnya, pendidikan Islam mampu menumbuhkan daya kritis dan kreatif, akar kecerdasan personal, sosial, dan kemanusiaan. Orientasinya bukanlah hanya kemampuan ritual dan keyakinan tauhid, melainkan juga akhlak sosial dan kemanusiaan.

Pendidikan yang keliru akan melahirkan jiwa yang beku, sikap otoriter, sikap menang sendiri, dan kekerasan. Keterkejutan banyak pihak atas perilaku sadis dan kekerasan yang menjatuhkan ribuan korban jiwa banyak berkaitan dengan model pembelajaran keagamaan yang doktrinatif.

Oleh karena itu, sudah tiba saatnya bagi kita untuk membebaskan pendidikan Islam dari doktrin-doktrin agama yang intoleran menuju pendidikan Islam yang pluralis. Karena seharusnya, pendidikan menjadi proses pemerdekaan, bukan menjadi sarana untuk menebar doktrin-doktrin yang dianggap paling benar.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat ditarik beberapa rumusan masalah berikut, antara lain:
1.      Perlukah kita merenovasi atau merekonstruksi ulang metode pendidikan agama Islam yang cenderung banyak mengandung doktrin-doktrin keagamaan yang intoleran terhadap agama lain?
2.      Seperti apakah wajah pendidikan agama Islam di era pluralisme ini?

C.    Tujuan Penulisan
Beranjak dari ketertarikan kami untuk mengkaji kembali metode pendidikan Islam yang diterapkan ditanah air ini, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Meninjau kembali relevansi pendidikan Islam yang diterapkan di Indonesia
2.      Mengkaji dan mengetahui metode pendidikan Islam dan tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam.
D.  Metode penelitian
Mengenai sistem penulisan lebih banyak menggunakan analisa pustaka. Sedangkan dalam metode penelitian di dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:       
1.      Jenis penelitian
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya dalam tulisn ini disajikan dalam penelitian pustaka (Library Research).
2.      Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data di sini kami melakukan proses pegumpulan data primer dan sekunder yang erat kaitannya dengan topik yang dibahas, baik dari buku-buku tentang pendidikan maupun literatur-literatur lainnya yang berhubungan dan mendukung guna melengkapi keperluan penelitian.                                                                                 
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Wajah Pendidikan Islam di Era Pluralisme.
Pendidikan agama yang telah menjadi sub pendidikan nasional tidak luput dari telaah teoritik baik dari aspek normatif maupun historisnya. Secara historis, praktik pendidikan agama, sejak penyusunan kurikulum, metode pengajaran, silabi guru, dosen, pilihan buku wajib, sumber dana penyelenggaraan sekolah, model penataran guru-guru agama, akses guru agama dalam memahami isu pluralitas atau kemajemukan penganut agama-agama ditanah air, perlu dicermati atau diteliti satu persatu.
Dalam berbagai dialog antaragama, para guru agama kurang atau bahkan tidak pernah didikut sertakan. Dialog antar agama hanya melibatkan tokoh-tokoh elit organisasi keagamaan. Seakan-akan, seorang guru tidak ada daya jual atau dianggap terlalu rendah untuk sekedar duduk bersama para kaum elite. Ironisnya, guru agama sebagai ujung tombak pendidikan agama, dari TK sampai perguruan tinggi, nyaris tidak tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran seputar isu-isu pluralisme. Dengan demikian, dalam pemikiran mereka, pada umumnya, masih terpanggil untuk mengajarkan agama dengan materi, cara dan metode yang sama dengan asumsi dasar.Mereka sesungguhnya adalah barisan terdepan dan ujung tombak yang masih cukup berwibawa untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan yang kondusif untuk mencegah melebar dan meluasnya konflik dan kerusuhan antar umat beragama sejak bangku sekolah atau kuliah.

Karena munculnya konflik itulah, Islam diklaim sebagai agama pencetak generasi yang radikal. Dan oleh barat, Islam selalu dikaitkan dengan kekerasan yang ada. Padahal, menurut Allija Izetbegovic, Islam berarti sebuah panggilan untuk menciptakan pribadi yang selaras dalam jiwa dan raga, serta masyarakat dengan hukum dan lembaga-lembaga sosio-politis yang akan melestarikan -bukannya melanggar- keselarasan tersebut.Oleh karena itu, sebagai seorang pendidik yang akan menuangkan ilmunya kepada para siswa atau mahasiswa, guru agama harusnya juga tahu dan dilibatkan dalam pemikiran tentang isu-isu pluralisme yang telah berkembang pesat saat ini agar mereka dapat mengambil sikap dalam menghadapi realitas pluralitas agama, budaya, ras, suku dan golongan dengan lebih arif, santun, matang dan dewasa, serta tidak hanya mengajarkan doktrin-doktrin keagamaan yang menganggap agama selain Islam itu salah, seakan-akan mereka tidak lagi memberikan toleransi terhadap agama lainnya.
Untuk itu, ada beberapa pertanyaan mendasar untuk dijawab terlebih dahulu oleh para konseptor dan para praktisi pendidikan agama. Apakah pendidikan agama –baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan yang lainnya- telah cukup memberi bekal kepada anak didik mereka ketika mereka harus berhadapan dengan realitas aktual dan konkrit tentang keberanekaragaman agama yang dianut oleh anggota masyarakat RT, RW, desa dan begitu seterusnya hingga tingkat nasional, regional dan internasional? Jika memang sudah, masih banyak pertanyaan yang akan muncul kemudian mengenai bentuk materi dan metodologi yang digunakan, metode seorang guru atau dosen untuk menyampaikannya, dan lain-lain.

D.     Eksklusivisme Pendidikan Islam.
Perilaku sosial siswa banyak diengaruhi oleh kebiasaan selama masa pendidikan. Pendidikan Islam, kurang memberikan ruang gerak kepada siswanya untuk mengekspresikan kreativitas yang dimilikinya. Ruang kelas seakan-akan menjadi penjara bagi penghuninya karena segalanya haruslah sama, mulai dari seragam, materi yang diterima, bahkan pemahamanpun haruslah sama.hal ini dapat dilihat dalam buku teks standar yang menjadi rujukan pengelola dan para guru; “membentuk kepribadian muslim berakhlak mulia. dst”. Tujuan ini diperuntukkan bagi semua jenis, jenjang, bidang studi, dicapai melalui pembelajaran yang keras dan beku.
Karena mereka tidak diberikan kesempatan untuk berkreasi, maka perkembangan pola pikir mereka menjadi lambat, dan dasar dari pemkiran mereka hanya terpaku pada buku panduan yang ditetapkan tanpa adanya rasa ingin tahu atau kemaua untuk membuktikan suatu statement yang ada dalam buku panduan tersebut..
Evaluasi yang diadakan oleh pendidikan Islam, biasanya dengan meninjau tingkah laku seorang siswa dalam menolak keyakinan selain keyakinan tauhid dan ajaran Islam.
Tetapi, bisakah para siswa menerima kenyataan tentang adanya pluralisme agama yang ada dilingkungannya? Itulah sebabnya, pendidikan Islam harus memperbaiki atau boleh jadi merenovasi tujuan dan pola pembelajaran yang diterapkan.Jadi, kita tidak boleh mendoktrin para siswa dengan keberadaan agama Islam saja, tetapi harus diselingi juga dengan pengetahuan tentang pluralisme agama yang ada disekitarnya. Meskipun demikian, menurut penulis, pengetahuan tentang pluralisme agama hendaknya disesuaikan dengan usia, jenjang pendidikan dan lain sebagainya.
E.      Humanisasi Pendidikan Islam
Pemanusiaan pendidikan merupakan tantangan besar Indonesia pasca Reformasi. Reformasi pendidikan dan pendidikan islam adalah agenda penting untuk elit tumbuhnya generasi baru yang lebih aktif dari manusiawi. Kebanyakan, pendidikan islam hanya terpaku pada persoalan agama saja, halal-haram dan sebagainya. Padahal, zaman sudah semakin maju tapi kita masih saja membicarakan hal-hal tersebut dan mengesampingkan tantangan yang lebih nampak di mata kita.  
Pendidikan menjadi penting manakala mendorong siswa untuk belajar hidup, belajar sukses, dan belajar dari kegagalan. Pendidikan bukan sekedar memicu kecerdasan, tetapi juga kewaskitaan yang dalam tradisi sufi disebut dengan makrifat. Banyak siswa atau mahasiswa yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan seolah terasing dari masyarakat. Ini merupakan dampak dari tidak berjalan atau bahkan tidak adanya program belajar hidup (life learning). Karena itu, mental mereka masih belum siap untuk menerima kenyataan yang demikian dan pada akhirnya berakibat pada ketergantungan obat, seks bebas atau perilaku merusak seperti tawuran, antar siswa atau sekolah, bunuh diri dan perbuatan jelek lainnya.
Bukan hanya bangsa yang berkembang atau sering disebut dengan dunia ke-3 yang mengalami hal tersebut, tapi bangsa maju pun tidak lepas dari penyakit sosial tersebut. Di Amerika Serikat, bunuh diri adalah penyebab kematian kedua dikalangan remaja. Gejala ini terus meningkat hingga 200 % selama tahun 1950 dan 1972. Sedangkan untuk usia 15 hingga 24 tahun, hal tersebut meningkat 400%.
Perubahan pola hidup yang makin terbuka dan mobilitas yang tinggi dengan resiko perceraian yang meningkat, merupakan faktor lain yang menimbulkan keterasingan.
Beberapa penelitian menuunjukkan bahwa sekolah-sekolah yang lebih besar tingkat lanjut, mendorong kesepian dan keterasingan. Siswa dari sekolah besar bertemu teman kurang sering dan komunikasi atas orang dewasa lebih rendah dibandingkan sekolah yang lebih kecil. Mereka lebih sedikit terlibat aktivitas dan tanggung jawab, lebih sengit berkompetisi dan lebih sempit mengembangkan konsep diri.
Selama ini, sekolah-sekolah negeri atau swasta, lebih mementingkan kemampuan kognisi, daya nalar dan keterampilan menjawab soal-soal ujian. Guru tidak sabar menumbuhkan emosi dan kemampuan siswa dalam memahami orang lain, dan siswapun gagal dipahami guru.
Ironisnya, pendidikan nilai dan kepribadian tidak dikembangkan oleh sekolah-sekolah. Sungguh sangat bijak jika sekolah berusaha mengembangkan suasana di mana para siswa dapat berhubungan secara langsung dan demokratis. Karena itu, kebijakan pendidikan yang mengabaikan arti keunikan pribadi siswa cenderung berakhir dengan kegagalan yang menimbulkan tragedi kemanusiaan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Pendidikan Islam sebagai sarana menyalurkan ilmu pengetahuan seharusnya memberikan segalanya, tanpa menutup-nutupi sesuatu yang terjadi sebenarnya. Tetapi dalam kenyataannya, pendidikan islam terlalu mendoktrin siswa dengan agama Islam tanpa diimbangi dengan pemupukan sikap toleransi dan menghormati agama lain.
Selain itu, pendidikan islam masih saja menjadikan pelajaran agama sebagai tujuan utama pendidikan. Mereka hanya mengutamakan halal-haram, iman-kafir sebagai pengetahuan yang wajib bagi siswa tanpa memikirkan pengetahuan yang lainnya. Disinilah pendikotomian ilmu pengetahuan yang masih terus saja berlanjut dapat kita ketahui. Hal inilah yang menyebabkan pendidikan islam sedikit tertinggal dari yang lainnya.
B. Saran-Saran.
Seharusnya, pendidikan Islam juga dijadikan sebagi sarana untuk menyiapkan siswa dalam menghadapi kenyataan yang ada dilingkungannya. Bukan hanya mengajarkan pendidikan agama yang hanya membahas halal-haram dan yang lainnya atau memberikan konsep dan materi yang salah terhadap peserta didik. Pembatasan pemahaman tentang suatu mata pelajaran juga termasuk indikator yang bisa menghambat kreatifitas siswa. Dan hal ini seharusnya dihapuskan dalam metode pendidikan islam.
Menurut hemat penulis, alangkah baiknya jika kita mengkaji atau mengulas kembali metode yang dipakai. Bukan hanya menyalahkan konseptor metode atau guru yang memberikan materi. Karena mereka juga manusia yang tidak mungkin luput dari salah dan lupa.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Mubarak, Jaih dan Abd.Hakim, Atang. 2009. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya.

www.ahmadmuthohar.blogspot-spirit.com

No comments:

Post a Comment

Leave a comment, please.......:)

Wahai Diriku....

Dzikir inilah yang setiap hari paling sering kita lafadzkan....

Suamiku....suamiku
Istriku.......istriku
Anakku......anakku
Hartaku.....hartaku
Pangkatku...pangkatku

Lalu mana....
Allah-ku......Allah-ku
Selamatkan aku...Selamatkanlah aku
Ampuni aku......Ampunilah aku


uje - - - huruf kecil saja