BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Di era multikulturalisme dan pluralisme ini, pendidikan Islam mendapat banyak tantangan karena dianggap tidak mampu membebaskan peserta didik dari eksklusivitas agama. Wacana kafir-iman, surga-neraka, benar-salah, halal-haram selalu menjadi bahan pelajaran penting yang tidak boleh ditinggalkan. Pelajaran tersebut hanya bertujuan untuk menguatkan keimanan seseorang terhadap agama tanpa dibarengi dengan kesadaran toleransi atau menghormati agama lain. Di sekolah-sekolah Islam, dari pendidikan yang paling bawah (madrasah ibtidaiyyah), sampai perguruan tinggi, fenomena ini tumbuh dengan subur.
Pendidikan Islam yang bernuansa doktrinal ini menciptakan kesadaran umatnya untuk memandang agama lain dengan berbeda, bahkan nyaris bermusuhan. Karena inilah pendidikan Islam dianggap gagal mencetak kader umat yang santun dan toleran. Itu sebabnya, hubungan antar manusia dan antar agama saat ini sudah harus mengalami pergeseran pola (paradigm shift).
Kalau dulu, hubungan antaragama ditandai dengan antagonisme polemik dan upaya untuk menundukkan dan mengajak pihak lain ke agama kita. Saat ini, hubungan tersebut lebih menekankan dialog dan pengertian.
Kegagalan pendidikan Islam dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama akan membangkitkan semangat radikal Islam. Sebaliknya, keberhasilan dalam menumbuhkan toleransi beragama sangat bergantung pada kemampuan umat Islam untuk menanamkan kesadaran masyarakat melalui instrument pendidikan. Seharusnya, pendidikan Islam mampu menumbuhkan daya kritis dan kreatif, akar kecerdasan personal, sosial, dan kemanusiaan. Orientasinya bukanlah hanya kemampuan ritual dan keyakinan tauhid, melainkan juga akhlak sosial dan kemanusiaan.
Pendidikan yang keliru akan melahirkan jiwa yang beku, sikap otoriter, sikap menang sendiri, dan kekerasan. Keterkejutan banyak pihak atas perilaku sadis dan kekerasan yang menjatuhkan ribuan korban jiwa banyak berkaitan dengan model pembelajaran keagamaan yang doktrinatif.
Oleh karena itu, sudah tiba saatnya bagi kita untuk membebaskan pendidikan Islam dari doktrin-doktrin agama yang intoleran menuju pendidikan Islam yang pluralis. Karena seharusnya, pendidikan menjadi proses pemerdekaan, bukan menjadi sarana untuk menebar doktrin-doktrin yang dianggap paling benar.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat ditarik beberapa
rumusan masalah berikut, antara lain:
1.
Perlukah kita merenovasi atau
merekonstruksi ulang metode pendidikan agama Islam yang cenderung banyak mengandung
doktrin-doktrin keagamaan yang intoleran terhadap agama lain?
2.
Seperti apakah wajah pendidikan
agama Islam di era pluralisme ini?
C. Tujuan Penulisan
Beranjak
dari ketertarikan kami untuk mengkaji kembali metode pendidikan Islam yang
diterapkan ditanah air ini, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Meninjau kembali relevansi
pendidikan Islam yang diterapkan di Indonesia
2.
Mengkaji dan mengetahui metode
pendidikan Islam dan tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam.
D. Metode penelitian
Mengenai sistem penulisan lebih banyak menggunakan
analisa pustaka. Sedangkan dalam metode penelitian di dalam tulisan ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1.
Jenis penelitian
Sebagaimana
dipaparkan sebelumnya dalam tulisn ini disajikan dalam penelitian pustaka
(Library Research).
2.
Pengumpulan Data
Dalam
pengumpulan data di sini kami melakukan proses pegumpulan data primer dan
sekunder yang erat kaitannya dengan topik yang dibahas, baik dari buku-buku
tentang pendidikan maupun literatur-literatur lainnya yang berhubungan dan
mendukung guna melengkapi keperluan penelitian.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Wajah Pendidikan Islam di Era Pluralisme.
Pendidikan agama yang telah menjadi
sub pendidikan nasional tidak luput dari telaah teoritik baik dari aspek
normatif maupun historisnya. Secara historis, praktik pendidikan agama, sejak
penyusunan kurikulum, metode pengajaran, silabi guru, dosen, pilihan buku
wajib, sumber dana penyelenggaraan sekolah, model penataran guru-guru agama,
akses guru agama dalam memahami isu pluralitas atau kemajemukan penganut
agama-agama ditanah air, perlu dicermati atau diteliti satu persatu.
Dalam berbagai dialog antaragama,
para guru agama kurang atau bahkan tidak pernah didikut sertakan. Dialog antar
agama hanya melibatkan tokoh-tokoh elit organisasi keagamaan. Seakan-akan,
seorang guru tidak ada daya jual atau dianggap terlalu rendah untuk sekedar
duduk bersama para kaum elite. Ironisnya, guru agama sebagai ujung tombak
pendidikan agama, dari TK sampai perguruan tinggi, nyaris tidak tersentuh oleh
gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran seputar isu-isu
pluralisme. Dengan demikian, dalam pemikiran mereka, pada umumnya, masih
terpanggil untuk mengajarkan agama dengan materi, cara dan metode yang sama
dengan asumsi dasar.Mereka sesungguhnya adalah barisan terdepan dan ujung
tombak yang masih cukup berwibawa untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan yang
kondusif untuk mencegah melebar dan meluasnya konflik dan kerusuhan antar umat
beragama sejak bangku sekolah atau kuliah.
Karena munculnya konflik itulah, Islam diklaim sebagai agama pencetak generasi yang radikal. Dan oleh barat, Islam selalu dikaitkan dengan kekerasan yang ada. Padahal, menurut Allija Izetbegovic, Islam berarti sebuah panggilan untuk menciptakan pribadi yang selaras dalam jiwa dan raga, serta masyarakat dengan hukum dan lembaga-lembaga sosio-politis yang akan melestarikan -bukannya melanggar- keselarasan tersebut.Oleh karena itu, sebagai seorang pendidik yang akan menuangkan ilmunya kepada para siswa atau mahasiswa, guru agama harusnya juga tahu dan dilibatkan dalam pemikiran tentang isu-isu pluralisme yang telah berkembang pesat saat ini agar mereka dapat mengambil sikap dalam menghadapi realitas pluralitas agama, budaya, ras, suku dan golongan dengan lebih arif, santun, matang dan dewasa, serta tidak hanya mengajarkan doktrin-doktrin keagamaan yang menganggap agama selain Islam itu salah, seakan-akan mereka tidak lagi memberikan toleransi terhadap agama lainnya.
Untuk itu, ada beberapa pertanyaan
mendasar untuk dijawab terlebih dahulu oleh para konseptor dan para praktisi
pendidikan agama. Apakah pendidikan agama –baik Islam, Kristen, Hindu, Budha,
Konghucu dan yang lainnya- telah cukup memberi bekal kepada anak didik mereka
ketika mereka harus berhadapan dengan realitas aktual dan konkrit tentang
keberanekaragaman agama yang dianut oleh anggota masyarakat RT, RW, desa dan
begitu seterusnya hingga tingkat nasional, regional dan internasional? Jika
memang sudah, masih banyak pertanyaan yang akan muncul kemudian mengenai bentuk
materi dan metodologi yang digunakan, metode seorang guru atau dosen untuk
menyampaikannya, dan lain-lain.
D.
Eksklusivisme Pendidikan Islam.
Perilaku sosial siswa banyak
diengaruhi oleh kebiasaan selama masa pendidikan. Pendidikan Islam, kurang
memberikan ruang gerak kepada siswanya untuk mengekspresikan kreativitas yang
dimilikinya. Ruang kelas seakan-akan menjadi penjara bagi penghuninya karena
segalanya haruslah sama, mulai dari seragam, materi yang diterima, bahkan
pemahamanpun haruslah sama.hal ini dapat dilihat dalam buku teks standar yang
menjadi rujukan pengelola dan para guru; “membentuk kepribadian muslim
berakhlak mulia. dst”. Tujuan ini diperuntukkan bagi semua jenis, jenjang,
bidang studi, dicapai melalui pembelajaran yang keras dan beku.
Karena mereka tidak diberikan
kesempatan untuk berkreasi, maka perkembangan pola pikir mereka menjadi lambat,
dan dasar dari pemkiran mereka hanya terpaku pada buku panduan yang ditetapkan
tanpa adanya rasa ingin tahu atau kemaua untuk membuktikan suatu statement yang
ada dalam buku panduan tersebut..
Evaluasi yang diadakan oleh
pendidikan Islam, biasanya dengan meninjau tingkah laku seorang siswa dalam
menolak keyakinan selain keyakinan tauhid dan ajaran Islam.
Tetapi, bisakah para siswa menerima kenyataan tentang adanya pluralisme agama yang ada dilingkungannya? Itulah sebabnya, pendidikan Islam harus memperbaiki atau boleh jadi merenovasi tujuan dan pola pembelajaran yang diterapkan.Jadi, kita tidak boleh mendoktrin para siswa dengan keberadaan agama Islam saja, tetapi harus diselingi juga dengan pengetahuan tentang pluralisme agama yang ada disekitarnya. Meskipun demikian, menurut penulis, pengetahuan tentang pluralisme agama hendaknya disesuaikan dengan usia, jenjang pendidikan dan lain sebagainya.
Tetapi, bisakah para siswa menerima kenyataan tentang adanya pluralisme agama yang ada dilingkungannya? Itulah sebabnya, pendidikan Islam harus memperbaiki atau boleh jadi merenovasi tujuan dan pola pembelajaran yang diterapkan.Jadi, kita tidak boleh mendoktrin para siswa dengan keberadaan agama Islam saja, tetapi harus diselingi juga dengan pengetahuan tentang pluralisme agama yang ada disekitarnya. Meskipun demikian, menurut penulis, pengetahuan tentang pluralisme agama hendaknya disesuaikan dengan usia, jenjang pendidikan dan lain sebagainya.
E.
Humanisasi Pendidikan Islam
Pemanusiaan pendidikan merupakan
tantangan besar Indonesia pasca Reformasi. Reformasi pendidikan dan pendidikan
islam adalah agenda penting untuk elit tumbuhnya generasi baru yang lebih aktif
dari manusiawi. Kebanyakan, pendidikan islam hanya terpaku pada persoalan agama
saja, halal-haram dan sebagainya. Padahal, zaman sudah semakin maju tapi kita
masih saja membicarakan hal-hal tersebut dan mengesampingkan tantangan yang
lebih nampak di mata kita.
Pendidikan menjadi penting manakala
mendorong siswa untuk belajar hidup, belajar sukses, dan belajar dari
kegagalan. Pendidikan bukan sekedar memicu kecerdasan, tetapi juga kewaskitaan
yang dalam tradisi sufi disebut dengan makrifat. Banyak siswa atau mahasiswa
yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan seolah terasing dari
masyarakat. Ini merupakan dampak dari tidak berjalan atau bahkan tidak adanya
program belajar hidup (life learning). Karena itu, mental mereka masih belum
siap untuk menerima kenyataan yang demikian dan pada akhirnya berakibat pada
ketergantungan obat, seks bebas atau perilaku merusak seperti tawuran, antar
siswa atau sekolah, bunuh diri dan perbuatan jelek lainnya.
Bukan hanya bangsa yang berkembang
atau sering disebut dengan dunia ke-3 yang mengalami hal tersebut, tapi bangsa
maju pun tidak lepas dari penyakit sosial tersebut. Di Amerika Serikat, bunuh diri
adalah penyebab kematian kedua dikalangan remaja. Gejala ini terus meningkat
hingga 200 % selama tahun 1950 dan 1972. Sedangkan untuk usia 15 hingga 24
tahun, hal tersebut meningkat 400%.
Perubahan pola hidup yang makin terbuka dan mobilitas
yang tinggi dengan resiko perceraian yang meningkat, merupakan faktor lain yang
menimbulkan keterasingan.
Beberapa penelitian menuunjukkan bahwa sekolah-sekolah yang lebih besar tingkat lanjut, mendorong kesepian dan keterasingan. Siswa dari sekolah besar bertemu teman kurang sering dan komunikasi atas orang dewasa lebih rendah dibandingkan sekolah yang lebih kecil. Mereka lebih sedikit terlibat aktivitas dan tanggung jawab, lebih sengit berkompetisi dan lebih sempit mengembangkan konsep diri.
Beberapa penelitian menuunjukkan bahwa sekolah-sekolah yang lebih besar tingkat lanjut, mendorong kesepian dan keterasingan. Siswa dari sekolah besar bertemu teman kurang sering dan komunikasi atas orang dewasa lebih rendah dibandingkan sekolah yang lebih kecil. Mereka lebih sedikit terlibat aktivitas dan tanggung jawab, lebih sengit berkompetisi dan lebih sempit mengembangkan konsep diri.
Selama ini, sekolah-sekolah negeri atau swasta, lebih
mementingkan kemampuan kognisi, daya nalar dan keterampilan menjawab soal-soal
ujian. Guru tidak sabar menumbuhkan emosi dan kemampuan siswa dalam memahami
orang lain, dan siswapun gagal dipahami guru.
Ironisnya, pendidikan nilai dan kepribadian tidak
dikembangkan oleh sekolah-sekolah. Sungguh sangat bijak jika sekolah berusaha
mengembangkan suasana di mana para siswa dapat berhubungan secara langsung dan
demokratis. Karena itu, kebijakan pendidikan yang mengabaikan arti keunikan
pribadi siswa cenderung berakhir dengan kegagalan yang menimbulkan tragedi
kemanusiaan.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Pendidikan Islam sebagai sarana menyalurkan ilmu
pengetahuan seharusnya memberikan segalanya, tanpa menutup-nutupi sesuatu yang
terjadi sebenarnya. Tetapi dalam kenyataannya, pendidikan islam terlalu
mendoktrin siswa dengan agama Islam tanpa diimbangi dengan pemupukan sikap
toleransi dan menghormati agama lain.
Selain itu, pendidikan islam masih saja menjadikan pelajaran
agama sebagai tujuan utama pendidikan. Mereka hanya mengutamakan halal-haram,
iman-kafir sebagai pengetahuan yang wajib bagi siswa tanpa memikirkan
pengetahuan yang lainnya. Disinilah pendikotomian ilmu pengetahuan yang masih
terus saja berlanjut dapat kita ketahui. Hal inilah yang menyebabkan pendidikan
islam sedikit tertinggal dari yang lainnya.
B.
Saran-Saran.
Seharusnya, pendidikan Islam juga dijadikan sebagi
sarana untuk menyiapkan siswa dalam menghadapi kenyataan yang ada
dilingkungannya. Bukan hanya mengajarkan pendidikan agama yang hanya membahas
halal-haram dan yang lainnya atau memberikan konsep dan materi yang salah
terhadap peserta didik. Pembatasan pemahaman tentang suatu mata pelajaran juga
termasuk indikator yang bisa menghambat kreatifitas siswa. Dan hal ini
seharusnya dihapuskan dalam metode pendidikan islam.
Menurut hemat penulis, alangkah baiknya jika kita
mengkaji atau mengulas kembali metode yang dipakai. Bukan hanya menyalahkan konseptor
metode atau guru yang memberikan materi. Karena mereka juga manusia yang tidak
mungkin luput dari salah dan lupa.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Mubarak,
Jaih dan Abd.Hakim, Atang. 2009. Metodologi
Studi Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya.
www.ahmadmuthohar.blogspot-spirit.com
No comments:
Post a Comment
Leave a comment, please.......:)