ANALISIS
FILOSOFIS PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN
ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidik dan peserta didik merupakan
komponen penting dalam sistem pendidikan Islam. Kedua komponen ini saling
berinteraksi dalam proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang
diinginkan. Oleh karena itu, pendidik sangat berperan besar sekaligus
menentukan ke mana arah potensi peserta didik yang akan dikembangkan.
Demikian pula peserta didik, ia
tidak hanya sekedar objek pendidikan, tetapi pada saat-saat tertentu ia akan
menjadi subjek pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa posisi peserta didik pun
tidak hanya sekedar pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima air kapan dan
dimanapun. Akan tetapi peserta didik harus aktif, kreatif dan dinamis dalam
berinteraksi dengan gurunya, sekaligus dalam upaya pengembangan keilmuannya.
Konsep pendidik dan peserta didik
dalam perspektif pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri yang sesuai
dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri. Karakteristik ini akan
membedakan konsep pendidik dan peserta didik dalam pandangan pendidikan
lainnya. Hal itu juga dapat ditelusuri melalui tugas dan persyaratan ideal yang
harus dimiliki oleh seorang pendidik dan peserta didik yang dikehendaki oleh
Islam. Tentu semua itu tidak terlepas dari landasan ajaran Islam itu sendiri,
yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang menginginkan perkembangan pendidik dan peserta
didik tidak bertentangan dengan ajaran kedua landasan tersebut sesuai dengan
pemahaman maksimal manusia.
Jika karakteristik yang diinginkan
oleh pendidikan Islam tersebut dapat dipenuhi, maka pendidikan yang berkualitas
niscaya akan dapat diraih. Untuk itu, kajian dan analisis filosofis sangat
dibutuhkan dalam merumuskan konsep pendidik dan peserta didik dalam perspektif
pendidikan Islam sehingga diperoleh pemahaman yang utuh tentang kedua komponen
tersebut.
Makalah yang sederhana ini akan
menguraikan tentang analisis filosofis tentang pendidik dan peserta didik dalam
perspektif filsafat pendidikan Islam. Diharapkan makalah ini menjadi bahan
diskusi lebih lanjut agar dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang
kedua komponen itu sehingga berguna dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang
diinginkan secara efektif dan efisien.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pendidik
1. Pengertian Pendidik
Pendidik adalah orang yang mendidik.
Dalam pendidikan formal tingkat dasar dan menengah disebut guru, sedangkan pada
perguruan tinggi disebut dengan dosen. Dalam bahasa Arab, juga ditemukan
beberapa istilah yang memiliki makna pendidik, yaitu ustadz, mudarris,
mu’allim, dan mu’addib. Abuddin Nata mengemukakan bahwa kata ustadz jamaknya
asātidz yang berarti teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang di bidang
intelektual, pelatih, penulis, dan penyiar. Adapun kata mudarris berarti
teacher (guru), instructor (pelatih), lecture (dosen). Sedangkan kata mu’allim
yang juga berarti teacher (guru), instructor (pelatih), dan trainer (pemandu).
Sementara kata mu’addib berarti educator (pendidik) atau teacher in koranic
school (guru dalam lembaga pendidikan al-Qur’an).
Adanya perbedaan dalam penggunaan
istilah pendidik, juga berangkat dari penggunaan istilah pendidikan yang
digunakan. Bagi orang yang berpendapat bahwa istilah yang tepat untuk
menggunakan pendidikan adalah tarbiyah, maka seorang pendidik disebut murabbi,
jika ta’līm yang dianggap lebih tepat, maka pendidiknya disebut mu’allim, dan
jika ta’dīb yang dianggap lebih cocok untuk makna pendidikan, maka pendidik
disebut dengan mu’addib.
Kata ”murabbi”, sering
dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik
yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam
proses orang tua membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan
pelayanan secara penuh agar anaknnya tumbuh dengan fisik yang sehat dan
kepribadian serta akhlak terpuji. Mu’addib mengacu kepada guru yang memiliki
sifat-sifat rabbani yaitu nama yang diberikan bagi orang-orang yang bijaksana
dan terpelajar yang memiliki sikap tanggung jawab yang tinggi serta mempunyai
jiwa kasih sayang terhadap peserta didik. Sedangkan kata ”mu’allim” memberikan
konsekuensi bahwa guru adalah seorang yang alim (ilmuan), menguasai ilmu
pengetahuan, kreatif dan memiliki komitmen dalam pengembangan ilmu. Dalam
pengertian ini maka seorang guru harus kaya dengan ilmu dan aktivitas dan ia
berusaha untuk memberikan pengetahuannya tersebut kepada peserta didiknya.
Meskipun terdapat berbagai perbedaan
istilah, yang jelasnya makna dasar dari masing-masing istilah tersebut
terkandung di dalam konsep ”pendidik” dalam pendidikan Islam. Dengan demikian,
”pendidik” tidak hanya sebagai orang yang menyampaikan materi kepada peserta
didik (transfer of knowladge), tetapi lebih dari itu ia juga bertugas untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal (tranformation of
knowladge) serta menanamkan nilai (internalitation of values) yang berlandaskan
kepada ajaran Islam. Tegasnya, seorang pendidik berperan besar dalam
menumbuh-kembangkan berbagai potensi positif peserta didik secara optimal
sehingga tujuan pendidikan Islam yang ideal dapat diraih.
Menurut Ramayulis, pendidik dalam
pendidikan Islam setidaknya ada empat macam. Pertama, Allah SWT sebagai
pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya. Kedua, Nabi Muhammad SAW
sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah kemudian bertugas untuk
menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya kepada seluruh manusia.
Ketiga, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anak-anaknya.
Keempat, Guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di
sekolah atau madrasah. Namun pendidik yang lebih banyak dibicarakan dalam
pembahasan ini adalah pendidik dalam bentuk yang keempat.
2. Kedudukan Pendidik
a. Pendidik dalam al-Qur’an
Secara eksplisit, memang tidak
ditemukan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang pendidik. Namun secara
implisit, al-Qur’an membicarakan tentang pendidik. Hal itu dapat dilihat dari
konsep al-Qur’an tentang ilmu dan kedudukan orang-orang yang berilmu. Orang
yang berilmu ini tentunya memiliki hubungan erat dengan pendidik, dimana
pendidik adalah orang yang memiliki dan mengajarkan ilmu.
Dalam al-Qur’an ditemukan ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa Allah memposisikan pendidik pada tempat terhormat. Seperti
firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ
وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ
وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: Hai orang-orang beriman
apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis",
maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Q.S. al-Mujadilah/58: 11)
Selain dari ayat di atas, juga
terdapat firman Allah dalam surat az-Zumar tentang posisi seorang pendidik
dengan ilmu yang dimilikinya. Firman-Nya:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ
يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا
الْأَلْبَابِ
Artinya: Katakanlah: "Adakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran. (Q.S. az-Zumar/39: 9).
Selain dari posisi di atas, seorang
pendidik yang berilmu tersebut memiliki karakter takut, tunduk dan taat kepada
Allah (khasyyatullah). Hal ini berarti bahwa secara implisit seorang pendidik
memiliki kelebihan dari manusia lain ketika menjalankan perintah Allah.
Firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ
وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ
عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Artinya: Dan demikian (pula) di
antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun. (Q.S. Fathir/35: 28).
Menurut Ramayulis, dari ayat-ayat
yang berkenaan dengan ilmu (pendidik) di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah
menempatkan seorang pendidik pada posisi yang terhormat. Jika digunakan logika
berfikir yang linear maka tentunya posisi ulama akan terus meningkat derajatnya
apabila ia mengaplikasikan ilmunya dalam sikap hidup dan perilaku sehari-hari.
Selanjutnya posisi terhormat seorang pendidik tersebut akan terus meningkat ke
derajat yang lebih tinggi bila ilmu tersebut diwariskan kepada orang lain
melalui usaha pendidikan.
b.
Pendidik
dalam Hadis
Dari beberapa hadis dapat dilihat
bahwa Nabi Muhammad SAW juga memposisikan pendidik di tempat yang mulia dan
terhormat. Dia menegaskan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, sementara makna
ulama adalah orang yang berilmu. Dalam perspektif pendidikan Islam, ulama
termasuk pendidik. Tegasnya, pendidik adalah pewaris para nabi. Hadis itu
berbunyi:
...اْلعُلَمَاءُ وَرَاثَتُ
اْلاَنْبِيَاءِ....
Artinya: …...Para ulama (guru)
adalah pewaris para nabi…(Dari Abu Darda’ r.a. dan diriwayatkan oleh Ibn
Majah)
Hadis di atas juga menunjukkan bahwa
Rasulullah SAW memberikan perhatian yang besar terhadap ”pendidik” sekaligus
memberikan posisi terhormat kepadanya. Hal ini beralasan mengingat peran
pendidik sangat menentukan dalam mendidik manusia untuk tetap konsisten dan
komitmen dalam menjalankan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
c. Pendidik dalam Sistem Pendidikan
Nasional
Dalam sejarah bangsa Indonesia,
status pendidik juga mendapat penghormatan yang mulia. Bahkan sering dikenal
pepatah yang menyebutkan bahwa guru adalah ”digugu dan ditiru”. Di beberapa
wilayah Indonesia, ada beberapa ungkapan populer untuk menyebut guru. Di
Minangkabau, misalnya, guru biasanya disebut Buya berasal dari kata abuyya yang
berarti Bapakku tercinta; sementara di daerah lain, seperti Sunda, dikenal
sebutan Yang guru, Nyai guru, Kang guru, Uwa guru dan Aki guru. Walaupun
sebutan itu ditujukan kepada guru yang memiliki keunggulan, namun hal ini bisa
dijadikan alasan kuat untuk menyatakan bahwa guru berada pada posisi terhormat
di mata masyarakat.
Dalam sistem pendidikan nasional,
pendidik dikenal dengan beberapa sebutan, seperti yang ditegaskan dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN)
pasal 1 ayat (6): ” Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi
sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,
fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta
berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan”.
Sementara dalam pendidikan formal, pendidik
dikenal dengan sebutan guru untuk tingkat sekolah dasar dan menengah dan dosen
untuk tingkat perguruan tinggi. Hal ini dapat dilihat dari Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada Bab II
pasal 2 disebutkan bahwa:
a)
Guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.
b)
Dosen
adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen pada pasal 8 disebutkan juga bahwa ”Guru wajib memiliki kualifikasi
akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.”
Kompetensi yang dimaksud dijelaskan
sebelumnya pada pasal 1 ayat (10): ”Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh
guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.” Sedangkan kompetensi
itu meliputi empat aspek, sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 10 ayat (1)
”Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”.
Adanya konstitusi di atas
menunjukkan bahwa pendidik memang memiliki peran penting serta berkedudukan
yang mulia dan terhormat, tidak saja dalam perspektif Islam, tetapi juga dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Hal ini tentunya berangkat dari
kesadaran bahwa pendidik memiliki peran strategis sekaligus memberikan
kontribusi yang besar terhadap pembangunan dan peningkatan peradaban suatu
bangsa.
Berkaitan dengan ini, maka dalam
pendidikan Islam disebutkan bahwa pendidik dipandang sebagai abu al-ruh (orang
tua spiritual atau rohani) bagi para muridnya. Guru hadir di hadapan muridnya
dalam kelas memberikan bimbingan jiwa dengan berbagai hikmah, dan mauizhah
dalam melaksanakan pendidikan, terutama dalam membimbing akhlak dan moral. Atas
dasar ini maka menghormati pendidik juga berarti menghormati Bapaknya (orang
tua) sendiri, dan penghargaan terhadap pendidik berarti juga menghargai orang
tuanya juga.
3. Tugas Pendidik
Mengenai tugas pendidik dalam
perspektif pendidikan Islam, Ramayulis membaginya ke dalam dua tugas, yaitu
tugas umum dan tugas khusus. Secara umum, tugas pendidik adalah mengemban misi
rahmatan li al-‘ālamīn, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan
patuh pada hukum-hukum Allah guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat.
Kemudian misi dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid,
kreatif, beramal shaleh, dan bermoral tinggi.
Secara khusus, tugas pendidik ada
tiga macam. Pertama, sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas
merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun,
dan penilaian setelah program itu dilaksanakan. Kedua, sebagai pendidik
(educator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang
berkepribadian insan kamil, seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia.
Ketiga, sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin dan mengendalikan diri
sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait. Tugas ketiga ini menyangkut
upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas
program yang dilakukan itu.
Sementara Hujjatul Islam, Imam
al-Ghazali, seperti yang dikutip Samsul Nizar, bahwa tugas pendidik yang utama
adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawa hati manusia
untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan peserta didik
untuk mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaannya. Para pendidik
dituntut untuk dapat mensucikan jiwa peserta didiknya. Hanya dengan melalui
jiwa-jiwa yang suci manusia akan dapat dekat dengan Khaliq-Nya. Begitu pula an-Nahlawi
berpendapat bahwa selain bertugas mengalihkan berbagai pengetahuan dan
keterampilan kepada peserta didik, tugas utama yang perlu dilakukan pendidik
adalah tazkiyat an-nafs yaitu mengembangkan, membersihkan, mengangkat jiwa
peserta didik kepada Khaliq-Nya, menjauhkan dari kejahatan, dan menjaganya agar
tetap berada pada fitrah-Nya yang hanif. Pendapat ini menunjukkan bahwa tugas
seorang pendidik yang tidak kalah penting adalah sebagai muzakky.
Dalam al-Qur’an juga disinggung
bahwa tugas pendidik—dalam konteks pendidik sebagai waratsatul an-biya’—memang
bertugas sebagai sekaligus mu’allim sebagai muzakky. Hal ini sesuai dengan
tugas Rasul dalam firman-Nya:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو
عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni'mat
Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan
ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al
Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
(Q.S. al-Baqarah/2: 151).
4.
Karakteristik
Pendidik
Perlu
juga dipahami bahwa pendidik dalam pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri.
Karakteristik ini tentunya membedakan pendidik dalam perspektif pendidikan
Islam dengan pandangan pendidikan non-Islam lainnya. Al-Abrasy mengemukakan
beberapa karakteristik pendidik, diantaranya:
1.
Seorang
pendidik bersifat zuhud, artinya melaksanakan tugasnya bukan semata-mata karena
materi, melainkan mendidik untuk mencari keridhaan Allah.Seorang pendidik harus
bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwanya, terhindar dari
dosa, sifat ria dengki, permusuhan, dan sifat –sifat tercela lainnya.
2.
Seorang
pendidik harus ikhlas dalam menjalankan tugasnya dan memiliki sifat-sifat
terpuji lainnya, seperti rendah hati, jujur, lemah lembut, dan sebagainya.
3.
Seorang
pendidik mesti suka memaafkan orang lain, terutama kesalahan peserta didiknya,
lalu ia juga sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar
dan mempunyai harga diri.
4.
Seorang
pendidik harus mencintai peserta didiknya seperti cintanya terhadap
anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan
keadaan anak-anaknya.
5.
Seorang
pendidik harus mengetahui karakter/tabiat peserta didiknya.
6.
Seorang
pendidik mesti menguasai pelajaran yang ia berikan.
Sementara an-Nahlawi menyebutkan
beberapa karakteristik seorang pendidik, yaitu:
1)
Mempunyai
watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud dalam tujuan, tingkah laku, dan pola
pikirnya.
2)
Bersifat
ikhlas; melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata untuk mencari ridha
Allah dan menegakkan kebenaran.
3)
Bersifat
sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didik.
4)
Jujur
dalam menyampaikan apa yang diketahuinya.
5)
Senantiasa
membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus mendalami dan
mengkajinya lebih lanjut.
6)
Mampu
menggunakan metode mengajar secara bervariasi sesuai dengan prinsip-prinsip
penggunaan metode pendidikan.
7)
Mampu
mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan proporsional.
8)
Mengetahui
kondisi psikis peserta didik.
9)
Tanggap
berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan
atau pola berpikir peserta didik.
10)
Berlaku
adil terhadap peserta didiknya.
Dari karakteristik di atas dapat
dipahami bahwa pendidik dalam pandangan Islam memiliki posisi yang tinggi dan
terhormat. Namun tugas yang mesti mereka emban tidaklah mudah, sebab Islam
menuntut pendidik tersebut melakukan terlebih dahulu apa-apa yang akan ia
ajarkan. Dengan begitu, pendidik akan mampu menjadi teladan (uswah) bagi
peserta didiknya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendidik yang mulia,
yaitu Nabi Muhammad SAW.
Ibn Khaldun, dalam kitabnya
Muqaddimah, juga berpendapat bahwa seorang guru harus memiliki karakter yang
baik. Dalam hal ini ia mengutip wasiat al-Rasyd kepada Khalaf bin Ahmar, guru
puteranya MUhammad al-Amin. Wasiat ini merupakan hal-hal yang perlu
diperhatikan oleh seorang guru. Wasiat itu berbunyi,
"Oh Ahmar, Amirul Mu'minin
telah mempercayakan anaknya kepada Anda, kehidupan jiwanya, dan buah hatinya.
Maka, ulurkan tangan Anda padanya, dan jadikan dia taat pada Anda. Ambillah
tempat di sisinya yang telah Amirul Mukminin berikan pada Anda. Ajari dia
membaca Al Qur'an. Perkenalkan dia sejarah. Ajak dia meriwayatkan syiir-syiir
dan ajari dia Sunnah-sunnah Nabi. Beri dia wawasan bagaimana berbicara dan
memulai suatu pembicaraan secara baik dan tepat. Larang dia tertawa, kecuali
pada waktunya.”
Biasakan dia menghormati orang-orang
tua Bani Hasyim yang bertemu dengannya, dan agar ia menghargai para pemuka
militer yang datang ke majlisnya. Jangan biarkan waktu berlalu kecuali jika
Anda gunakan untuk mengajarnya sesuatu yang berguna, tapi bukan dengan cara
yang menjengkelkannya, cara yang dapat mematikan pikirannya. Jangan pula
terlalu lemah-lembut, bila umpamanya ia mencoba membiasakan hidup santai. Sebisa
mungkin, perbaiki dia dengan kasih-sayang dan lemah-lembut. Jika dia tidak mau
dengan han itu, Anda harus mempergunakan kekerasan dan kekasaran."
Wasiat di atas menjadi hal yang
penting untuk diketahui oleh setiap pendidik. Dari wasiat itu pula dapat disimpulkan
bahwa setiap pendidik mesti bijaksana dalam mendidik anaknya, penuh kesabaran
dan kasih sayang serta tanggung jawab yang tinggi sehingga si anak memiliki
kompetensi di bidang yang ia ajarkan.
5. Persyaratan Pendidik
Dari penjelasan tugas dan karakteristik
pendidik di atas, dapat dipahami bahwa menjadi seorang pendidik yang
sesungguhnya tidaklah mudah; butuh upaya yang sungguh-sungguh. Agar tugas
tersebut dapat dijalankan dan karakteristik pendidik itu bisa dimiliki, maka
seorang guru harus memiliki beberapa persyaratan. Al-Kanani (w. 733 H), seperti
yang dikutip oleh Ramayulis, bahwa ada beberapa persyaratan seorang pendidik
dalam pandangan pendidikan Islam. Persyaratannya sebagai berikut:
a. Syarat-syarat pendidik berhubungan
dengan dirinya sendiri, yaitu:
1.
Pendidik
hendaknya senantiasa insyaf akan pengawasan Allah terhadapnya dalam segala
perkataan dan perbuatan bahwa ia memegang amanat ilmiah yang diberikan Allah
kepadanya. Karenanya ia tidak mengkhianati amanat itu, malah ia tunduk dan
merendahkan diri kepada Allah SWT.
2.
Pendidik
hendaknya memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk pemeliharaannya ialah
tidak mengajarkannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya, yaitu
orang-orang yang menuntut ilmu untuk kepentingan dunia semata.
3.
Pendidik
hendaknya bersifat zuhud.
4.
Pendidik
hendaknya tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat
untuk mencapai kedudukan, harta, prestise atau kebanggaan atas orang lain.
5.
Pendidik
hendaknya menjauhi mata penca
harian yang hina dalam pandangan syara’ dan
menjauhi situasi yang bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang
dapat menjatuhkan hara dirinya di mata orang banyak.
6.
Pendidik
hendaknya memelihara syi’ar-syi’ar Islam, seperti melaksanakan shalat berjamaah
di masjid, mengucapkan salam, dsb.
7.
Pendidik
hendaknya rajin melakukan hal-hal yang disunahkan oleh agama, baik dengan lisan
maupun perbuatan, seperti membaca al-Qur’an, berzikir dan shalat tengah malam.
8.
Pendidik
hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan orang banyak
dan menghindarkan diri dari akhlak buruk.
9.
Pendidik
hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan hala-hal yang bermanfaat,
seperti beribadah, membaca, mengarang, dsb.
10.
Pendidik
hendaknya selalu belajar dan tidak merasa malu untuk menerima ilmu dari orang
yang lebih rendah dari padanya, baik dari segi kedudukan maupun usianya.
11.
Pendidik
hendaknya rajin meneliti, menyusun dan mengarang dengan memperhatikan
keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk itu.
b. Syarat-syarat yang berhubungan
dengan pelajaran (syarat-syarat paedagogis-didaktis), yaitu:
1.
Sebelum
keluar dari rumah untuk mengajar, hendaknya pendidik bersuci dari hadas dan
kotoran serta mengenakan pakaian yang baik dengan maksud mengagungkan ilmu dan
syari’at.
2.
Ketika
keluar dari rumah, hendaknya pendidik selalu berdoa agar tidak sesat
menyesatkan dan terus berzikir kepada Allah SWT. Artinya, sebelum mengajarkan
ilmu, seorang pendidik harus membersihkan hati dan niatnya.
3.
Hendaknya
pendidik mengambil tempat pada posisi yang membuatnya dapat terlihat oleh semua
peserta didik.
4.
Sebelum
mulai mengajar, pendidik hendaknya membaca sebagian dari ayat al-Qur’an agar
memperoleh berkah dalam mengajar, kemudian membaca basmalah.
5.
Pendidik
hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai dengan hirarki nilai kemuliaan dan
kepentingan yaitu tafsir al-Qur’an, hadis, ilmu-ilmu ushuluddin, ushul fiqh,
dan seterusnya.
6.
Hendaknya
pendidik selau mengatur volume suaranya agar tidak terlalu keras.
7.
Hendaknya
pendidik menjaga ketertiban majelis dengan mengarahkan pembahasan pada objek
tertentu.
8.
Pendidik
hendaknya menegur peserta didik-peserta didik yang tidak menjaga sopan santun
dalam kelas.
9.
Pendidik
hendaknya bersikap bijak dalam melalkukan pembahasan, menyampaikan pelajaran
dan jawaban pertanyaan.
10.
Terhadap
peserta didik, pendidik hendaknya berperilaku wajar dan menciptakan suasana
yang membuatnya merasa telah menjadi bagian dari kesatuan teman-temannya.
11.
Pendidik
hendaknya menutup setiap akhir kegiatan pembelajaran dengan kata-kata wallahu
a’lam yang menunjukkan keikhlasan kepada Allah SWT.
12.
Pendidik
hendaknya tidak mengasuh bidang studi yang tidak disukainya.
c. Syarat-syarat pendidik di
tengah-tengah peserta didiknya, antara lain:
1.
Pendidik
hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan ridha Allah, menyebarkan ilmu,
menghidupkan syara’, menegakkan kebenaran, melenyapkan kebatilan, dan memelihara
kemaslahatan umat.
2.
Pendidik
hendaknya menolak untuk mengajar peserta didik yang tidak mempunyai niat tulus
dalam belajar.
3.
Pendidik
hendaknya mencintai peserta didiknya seperti ia mencintai dirinya sendiri.
4.
Pendidik
hendaknya memotivasi peserta didik untuk menuntut ilmu seluas mungkin.
5.
Pendidik
hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dan berusaha agar
peserta didiknya dapat memahami pelajaran.
6.
Pendidik
hendaknya melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang
dilakukannya.
7.
Pendidik
hendaknya bersikap adil terhadap semua peserta didiknya.
8.
Pendidik
hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan peserta didik, baik dengan
kedudukan ataupun hartanya.
9.
Pendidik
hendaknya terus memantau perkembangan peserta didik, baik intelektual maupun
akhlaknya. Peserta didik yang shaleh akan menjadi “tabungan” bagi pendidik, baik
di dunia maupun di akhirat.
Syarat-syarat
di atas harus diupayakan oleh seorang guru secara optimal sehingga ia akan
menjadi guru yang profesional, baik dalam kemampuan paedagogik, profesional,
individual hingga kepada sosialnya. Semua kemampuan/kompetensi tersebut
tentunya berlandaskan kepada ajaran Islam.
B.
Peserta
Didik
1.
Pengertian
Peserta Didik
Dalam bahasa Arab, setidaknya ada
tiga istilah yang menunjukkan makna peserta didik, yaitu murid, al-tilmīdz, dan
al-thālib. Murid berasal dari kata ‘arada, yuridu, iradatan, muridan yang
berarti orang yang menginginkan (the willer). Pengertian ini menunjukkan bahwa
seorang peserta didik adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik untuk bekal
hidupnya agar berbahagia di dunia dan akhirat dengan jalan belajar yang
sungguh-sungguh. Sedangkan al-tilmīdz tidak memiliki akar kata dan berarti
pelajar. Kata ini digunakan untuk menunjuk kepada peserta didik yang belajar di
madrasah. Sementara al-thālib berasal dari thalaba, yathlubu, thalaban,
thālibun, yang berarti orang yang mencari sesuatu.
Hal ini menunjukkan bahwa peserta
didik adalah orang yang mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan
dan pembentukan kepribadiannya untuk bekal masa depannya agar bahagia dunia dan
akhirat.
Kemudian, dalam penggunaan ketiga
istilah tersebut biasanya dibedakan berdasarkan tingkatan peserta didik. Murid
untuk sekolah dasar, al-tilmīdz untuk sekolah menengah, dan al-thālib untuk
perguruan tinggi. Namun, menurut Abuddin Nata, istilah yang lebih umum untuk
menyebut peserta didik adalah al-muta’allim. Istilah yang terakhir ini mencakup
makna semua orang yang menuntut ilmu pada semua tingkatan, mulai dari tingkat
dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Terlepas dari perbedaan istilah di
atas, yang jelasnya peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam sebagai
objek sekaligus subjek dalam proses pendidikan. Ia adalah orang yang belajar
untuk menemukan ilmu. Karena dalam Islam diyakini ilmu hanya berasal dari
Allah, maka seorang peserta didik mesti berupaya untuk mendekatkan dirinya
kepada Allah dengan senantiasa mensucikan dirinya dan taat kepada perintah-Nya.
Namun untuk memperoleh ilmu yang
berasal dari Allah tersebut, seorang peserta didik mesti belajar pada orang
yang telah diberi ilmu, yaitu guru atau pendidik. Karena peserta didik memiliki
hubungan dengan ilmu dalam rangka upaya untuk memiliki ilmu, maka seorang
peserta didik mesti berakhlak kepada gurunya. Akhlak tersebut tentunya tetap
mengacu kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis.
2. Tugas dan Kewajiban Peserta Didik
Agar proses pendidikan yang dilalui
oleh peserta didik berjalan dengan baik dan mampu mencapai tujuan pendidikan
sebagaimana yang diinginkan, maka peserta didik hendaknya mengetahui tugas dan kewajibannya.
Al-Abrasyi menyebutkan ada dua belas kewajiban tersebut, yaitu:
1) Sebelum belajar, peserta didik mesti
membersihkan hatinya karena menuntut ilmu adalah ibadah.
2) Belajar diniatkan untuk mengisi
jiwanya dengan fadhilah dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk sombong.
3) Bersedia meninggalkan keluarga dan
tanah air serta pergi ke tempat jauh sekalipun demi untuk mendatangi guru.
4) Jangan sering menukar guru, kecuali
atas pertimbangan yang panjang/matang.
5) Menghormati guru karena Allah dan
senantiasa menyenangkan hatinya.
6) Jangan melakukan aktivitas yang
dapat menyusahkan guru kecuali ada izinnya.
7) Jangan membuka aib guru dan
senantiasa memaafkannya jika ia salah.
8) Bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan
mendahulukan ilmu yang lebih penting.
9) Sesama peserta didik mesti menjalin
ukhuwah yang penuh kasih sayang.
10) Bergaul dengan baik terhadap
guru-gurunya, seperti terdahulu memberi salam.
11) Peserta didik hendaknya senantiasa
mengulangi pelajarannya pada waktu-waktu yang penuh berkat.
12) Bertekad untuk belajar sepanjang hayat
dan menghargai setiap ilmu.
Sementara
Imam al-Ghazali, yang juga dikembangkan oleh Said Hawa, berpendapat bahwa
seorang peserta didik memiliki beberapa tugas zhahir (nyata) yang harus ia
lakukan, yaitu:
a.
Mendahulukan
penyucian jiwa dari pada akhlak yang hina dan sifat-sifat tercela karena ilmu
merupakan ibadah hati, shalatnya jiwa, dan pendekatan batin kepada Allah.
b.
Mengurangi
keterkaitannya dengan kesibukan duniawi karena hal itu dapat menyibukkan dan
memalingkan.
c.
Tidak
sombong dan sewenang-wenanga terhadap guru.
d.
Orang
yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan
perselisihan di antara banyak orang. Artinya, hendaknya di tahap awal ia
mempelajari satu jalan ilmu, setelah ia menguasainya barulah ia mendengarkan beragam
mazhab atau pendapat.
e.
Seorang
penuntut ilmu tidak meninggalkan satu cabang pun dari ilmu-ilmu terpuji.
f.
Tidak
sekaligus menekuni bermacam-macam cabang ilmu, melainkan memperhatikan
urutan-urutan dan memulai dari yang paling penting.
g.
Hendaknya
ia memasuki sebuah cabang ilmu kecuali jika telah menguasai cabang ilmu yang
sebelumnya, karena ilmu itu tersusun rapi secara berurut.
h.
Hendaklah
seorang penuntut ilmu mengetahui faktor penyebab yang dengan pengetahuan itu ia
dapat mengetahui ilmu yang lebih mulia.
i.
Hendaknya
tujuan seorang peserta didik dalam menuntut ilmu di dunia untuk menghiasi diri
dan mempercantik batin dengan keutamaan, sedangkan di akhirat nanti untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meningkatkan diri agar dapat berdekatan
dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang didekatkan
kepada Allah.
Tugas
dan kewajiban di atas idealnya dimiliki oleh setiap peserta didik, sehingga
ilmu yang ia tuntut dapat dikuasai dan keberkahan ilmu pun ia peroleh. Selain
tugas dan kewajiban tersebut, peserta didik juga diharapkan mempersiapkan
dirinya baik secara fisik maupun mental sehingga tujuan pendidikan yang ia
cita-citakan dapat tercapai secara optimal, efektif dan efisien.
3. Sifat-sifat Ideal Peserta Didik
Selain
dari tugas dan kewajiban di atas, peserta didik juga mesti memiliki sifat-sifat
terpuji dalam kepribadiannya. Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh Samsul
Nizar, bahwa sifat-sifat ideal yang mesti dimiliki oleh setiap peserta didik
paling tidak meliputi sepuluh hal.
1) Belajar dengan niat ibadah dalam
rangka taqarrub ila Allah. Konsekuensi dari sikap ini, peserta didik akan
senantiasa mensucikan diri dengan akhlaq al-karimah dalam kehidupan
sehari-harinya dan berupaya meninggalkan watak dan akhlak yang rendah/tercela
sebagai refleksi atas firman Allah dalam Q.S. al-An’am/6: 162 dan
adz-Dzariyat/51:56).
2) Mengurangi kecenderungan pada
kehidupan duniawi dibanding ukhrawi atau sebaliknya. Sifat yang ideal adalah
menjadikan kedua dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral
untuk melaksanakan amanah-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal.
3) Bersikap tawadhu’ (rendah hati).
4) Menjaga pikiran dari berbagai
pertentangan yang timbul dari berbagai aliran. Dengan pendekatan ini, peserta
didik akan meihat berbagai pertentangan dan perbedaan pendapat sebagai sebuah
dinamika yang bermanfaat untuk menumbuhkan wacara intelektual, bukan sarana
saling menuding dan menganggap diri paling benar.
5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik
ilmu umum maupun agama.
6) Belajar secara bertahap atau
berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkrit) menuju pelajaran yang
sulit (abstrak); atau dari ilmu yang fardhu ‘ain menuju ilmu yang fardhu
kifayah (Q.S. a;l-Fath/48: 19).
7) Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk
kemudian beralih pada ilmu yang lainnya. Dengan cara ini, peserta didik akan
memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8) Memahami nilai-nilai ilmiah atas
ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum
memasuki ilmu duniawi.
10) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi
suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang bermanfaat, membahagiakan,
mensejahterakan, serta memberi kesematan hidup dunia dan akhirat, baik untuk
dirinya maupun manusia pada umumnya.
Dari beberapa pemikiran di atas,
dapat dipahami bahwa seorang peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam
tidak hanya menuntut dan menguasai ilmu tertentu secara teoritis, akan tetapi
lebih dari itu ia harus berupaya untuk mensucikan dirinya sehingga ilmu yang
akan ia peroleh memberi manfaat baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena
itu, pendidikan Islam sangat mengutamakan akhlak seorang peserta didik. Akhlak
tersebut harus diawali dari niat peserta didik itu sendiri, dimana niat
menuntut ilmu tersebut haruslah semata-mata karena Allah SWT, bukan karena
tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dijadikan prioritas utama. Selain itu,
peserta didik harus menuntut ilmu berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi.
Dengan konsep semacam ini, maka
peserta didik akan menuntut ilmu sesuai dengan dasar dan prinsip-prinsip
pendidikan Islam itu sendiri yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan sunnah
serta berorientasi kepada dunia dan akhirat secara integral dan seimbang.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian mengenai pendidik dan peserta didik dalam
perspektif filsafat pendidikan Islam di atas, dapat ditarik beberapa
kesimpulan.
Pertama, seorang pendidik tidak hanya bertugas untuk
mendidik intelektual peserta didik (transfer if knowladge), tetapi pendidik
juga bertugas dalam mengembangkan kemampuan intelektual (transformation of
knowladge) dan menanamkan nilai-nilai Islam dalam kepribadian peserta didik
(internalitation of values). Oleh karena itu, seorang pendidik dituntut
memiliki kemampuan sesuai dengan bidangnya sekaligus menjadi uswatun hasanah
bagi peserta didiknya.
Kedua, dalam konsep pendidikan Islam, peserta didik bisa
menjadi objek sekaligus subjek pendidikan. Sebab, peserta didik harus aktif dan
dinamis dalam proses pembelajaran; bukan justru pasif laksana cangkir kosong yang
siap menerima tuangan ilmu dari guru begitu saja tanpa daya kritis.
Ketiga, peserta didik yang pada dasarnya menginginkan ilmu
sangat membutuhkan seorang pendidik. Maka peserta didik harus menunjukkan sikap
yang baik dan menghormati pendidiknya sehingga ilmu yang ia peroleh tidak
sebatas pengetahuan intelektual an sich, tetapi yang terpenting adalah
kemampuan mengiternalisasikan nilai-nilai pengetahuan dalam kepribadiannya
serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya
Al-Abrasyi, Athiyah, Dasar-dasar
Pokok Pendidikan Islam, Yokyakarta: Bulan Bintang, 1974
Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Marimba, Ahmad D., Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1980
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan
Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006
an-Nahlawi, Abdurrahman,
Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Penj. Herry Noer Ali, Bandung: CV.
Diponegoro, 1992
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005