Pendidikan adalah hal yang sangat penting
bagi siapapun. Tua atau muda, miskin atau kaya, semua orang memerlukan
pendidikan. Pendidikan atau menuntut ilmu dalam Islam adalah sebuah keniscayaan
atau kewajiban mutlak bagi pria maupun wanita. Menuntut ilmu telah dianjurkan
dari semenjak kandungan hingga liang kubur. Proses untuk mendapatkan pendidikan
itu disebut dengan Belajar.
Belajar adalah serangkaian kegiatan yang
melibatkan jiwa dan raga untuk memperoleh perubahan tingkah laku sebagai hasil
pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut
kognitif, efektif dan psikomotorik. Dari sini diketahui bahwa tujuan belajar
adalah untuk memperoleh perubahan tingkah laku termasuk perkembangan pola
pikir. Tapi, bagaimana mungkin tujuan itu bisa tercapai jika dalam proses
belajar itu ditemukan kesulitan, atau yang biasa disebut dengan kesulitan
belajar.
Kesulitan belajar ini biasanya banyak terjadi
pada masa anak-anak, khususnya anak-anak di tingkatan sekolah dasar (SD).
Kesulitan yang mereka alami biasanya beragam dan juga disebabkan berbagai
faktor. Artikel ini sengaja dibuat untuk sedikit mengupas tentang kesulitan
belajar yang banyak dialami oleh anak-anak serta faktor-faktor yang membuatnya
demikian. Akan dipaparkan satu buah contoh seorang anak yang mengalami
kesulitan belajar. Agar dapat dipahami sebab yang menjadikannya dan cara
mengatasinya.
Seorang
anak yang mengalami masalah kesulitan belajar pada umumnya adalah anak-anak
yang memiliki gangguan pada dirinya baik yang bersifat fisik maupun non fisik.
Gangguan fisik itu dapat berupa kelainan fisik (cacat). Contohnya gangguan
penglihatan , pendengaran, wicara, atau dapat berupa adanya gangguan pada otak
dan sarafnya (autis, amnesia ringan, pelupa). Seorang anak yang memiliki
gangguan fungsi otak atau saraf dipastikan memiliki hambatan besar dalam
belajar.
Sedangkan
gangguan yang bersifat non fisik antara lain dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan disekitarnya, baik keluarga, tetangga, teman sepermainan, teman
sekolah, dan guru/pendidik. Keluarga yang terdiri dari orang tua, saudara,
nenek, termasuk pembantu adalah lingkungan yang pertama kali memberi pengaruh
terhadap pembentukan karakter seorang anak dalam hal ini kemampuannya dalam
menerima pelajaran.
Jika
seorang anak hidup di tengah-tengah sebuah keluarga yang mapan dalam hal materi,
tercukupi segala kebutuhannya lahir dan batin maka mereka akan lebih mudah
berkonsentrasi saat belajar. Karena akan menunjang mereka dalam pemenuhan
segala fasilitas yang diperlukan dalam peningkatan kualitas belajarnya. Sebaliknya,
seorang anak yang hidup dalam kondisi keluarga yang memiliki keterbatasan
finansial, ini menjadi masalah tersendiri.
Pernyataan
diatas bukanlah kebenaran yang mutlak. Sebab pada kenyataannya kita banyak
melihat bagaimana materi tidak selalu menjadi ukuran kesuksesan atau
kebahagiaan. Beberapa keluarga sederhana dengan kemampuan finansial yang
memadai justru lebih harmonis dan memiliki anak-anak yang mampu berkonsentrasi
dalam pelajaran. Sementara anak-anak yang mendapatkan materi lebih dari cukup
dari orang tuanya cenderung mengalami masalah yang dapat mengganggu konsentrasi
belajarnya. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, misalnya ketidakakuran
dengan saudara-saudaranya, orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya
masing-masing sehingga hanya memiliki sedikit waktu untuk memberi perhatian
kepada anak-anak mereka. Apalagi jika mereka adalah korban broken home dimana kedua keluarganya telah bercerai atau dalam
proses perceraian. Hal ini akan membuat anak-anak ini menjadi terpukul dan bisa
memberi dampak buruk bagi mereka.
Selain
lingkungan keluarga, lingkungan kedua yang mempengaruhi proses belajar anak
adalah lingkungan sekolah. Pada umumnya setiap anak didik menghabiskan waktunya
rata-rata 5-7 jam perhari di sekolah selama 5-6 hari seminggu. Sekolah juga
disebut-sebut sebagi rumah kedua bagi mereka. Sekolah adalah rumah kedua, itu
berarti oknum-oknum di dalamnya adalah keluarga, yang terdiri dari guru sebagai
orang tua, teman-teman selaku saudara, penjaga sekolah dan satpam pun punya
peran yang sama dengan pembantu dan satpam di rumah.
Guru
yang didaulat sebagai orang tua kedua anak di sekolah memiliki peran paling
besar dalam membimbing setiap anak didik. Guru bertanggungjawab untuk
mengarahkan, mengajarkan, membimbing, menaseheti setiap anak didik tanpa
terkecuali tanpa pandang bulu agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara
baik. Diharapkan seorang guru memiliki kepekaan dalam menangkap sinyal dari
anak didiknya akan adanya masalah kesulitan belajar. Tanggap dan cepat
mengambil tindakan untuk mengatasi hal tersebut sebelum semuanya menjadi
semakin parah.
Teman-teman
sekolahnya baik sekelas maupun dari kelas lain juga tidak kalah berperannya,
diantara mereka ada pula yang merupakan teman sepermainan dilingkungan tempat
tinggalnya. Anak-anak ini memberi pengaruh baik dan buruk secara timbal balik,
karena sesama anak didik mereka kerap menjadi korban juga sebagai pemberi
pengaruh buruk . Dalam pergaulan sehari-hari mereka, banyak hal yang terjadi.
Pergaulan dengan teman yang “salah” akan memberi pengaruh buruk bagi si anak.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bermain adalah dunia anak-anak, namun intensitas
bermain yang tinggi akan mengganggu konsentrasi anak dalam belajar, sebab si
anak akan selalu terorientasi pada aktivitas bermain.
Kami
mengambil satu contoh seorang anak yang mengalami kesulitan belajar di
Samarinda. Anak tersebut bernama Chairul Adhitya atau biasa dipanggil Erul yang
berumur 9 tahun. Erul adalah anak dari keluarga broken home, kedua orang tuanya
telah resmi bercerai dan kini ia diasuh oleh ibunya. Erul dan ibunya masih
tinggal bersama kakek dan neneknya serta saudara-saudara ibunya. Bisa dikatakan
bahwa Erul mendapatkan kasih sayang yang cukup dari ibunya. Meskipun ayahnya
telah “putus hubungan” dengannya, akan
tetapi ia mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kakek, nenek, paman dan
bibinya. Sejak kecil Erul terlihat cukup cerdas untuk anak seusianya saat masih
balita, hal itu terlihat bagaimana ia dapat melalui semua tahap perkembangan
balita dengan baik dan bahkan cenderung terlihat mencolok dari sisi kecerdasan.
Ketika
Erul mulai memasuki dunia sekolah semua masih tampak normal awalnya. Namun,
dunia baru yang dimasukinya itu membuat ia mulai mengenal lebih banyak teman
dan dengan cepat mengajarinya tentang bergaul dengan teman yang beragam. Ini
juga berimbas pada kehidupan sehari-harinya di luar jam sekolah. Ia mulai
banyak bergaul dan bermain. Tidak tanggung-tanggung jika sebelumnya ia bermain
hanya 1-2 jam perhari saja selepas pulang sekolah, sekarang ia bisa
menghabiskan waktu berjam-jam bermain di luar. Apalagi pada hari libur (hari
Minggu atau hari Libur Nasional) ia bisa berada di luar rumah dari jam 6 pagi
hingga jam 6 sore.
Tumbuh
di antara “beberapa” orang tua yang sangat menyayanginya ternyata telah membuat
Erul sedikit manja, setiap keinginannya mutlak dipenuhi. Ketika ia melakukan
kesalahan dan mendapat hukuman dari ibunya, maka kakek, nenek, paman dan
bibinya akan membelanya. Selain itu, watak keras kepala yang diturunkan secara
genetika oleh ibunya, dan sifat cuek atau masa bodoh dari ayahnya dengan mantab
membentuk karakter Erul. Alhasil, ia sulit untuk dinasehati atau sekedar
ditegur. Semakin beranjak besar sikap dan watak Erul semakin menjadi-jadi saja,
yang dibuat gerah pun bukan ibunya saja, akan tetapi orang-orang yang tadinya
begitu memanjakannya berubah “sangar” terhadapnya. Tingkahnya yang tak
terkontrol membuat orang-orang tuanya ini mulai menempuh cara sedikit bahkan
lebih keras terhadapnya. Bukannya berubah jadi baik, justru hal itu membuat
Erul jadi “jauh” secara emosional dengan keluarga yang tadinya begitu dekat
dengannya.
Sifatnya
yang sulit dinasehati untuk belajar dan lebih banyak bermain, berhasil merusak konsentrasi
pada aktifitas belajarnya. Ia pun mengalami kesulitan belajar yang tergolong
cukup parah, yaitu kesulitan membaca, menulis, berhitung, mengenali huruf,
mengeja, hingga mengingat apa yang telah disampaikan kepadanya. Meskipun Erul
belum pernah tinggal kelas, tapi ini bukan jaminan bahwa proses pendidikan yang
ia dapatkan di sekolah dapat dikatakan berhasil. Karena, walau saat ini Erul
telah duduk di bangku kelas 4 SD, tapi tetap saja ia belum bisa membaca dengan
baik dan benar.
Berbagai
cara telah dilakukan untuk mengatasi hal ini, seperti mengikutsertakannya pada
kegiatan les tambahan dari gurunya di sekolah, tapi rasanya semua terlihat nihil tanpa hasil
yang memuaskan atau sekedar sedikit lebih baik. Kurangnya minat Erul untuk
belajar adalah salah satu faktor utama, karena yang ada dipikirannya hanyalah
bermain. Faktor lain yaitu kurangnya pengetahuan para orang tua tentang seluk
beluk perkembangan anak juga menjadi masalah serius. Bagaimana si orang tua
dapat memberikan bimbingan yang baik terhadap si anak jika mereka sendiri sama
sekali tidak paham bagaimana cara menyikapi proses perkembangan mental si anak,
sehingga merekapun tidak tahu teknik atau metode apa yang seharusnya digunakan
dalam mendidik anak tersebut.
Jika
memperhatikan kasus Erul di atas, tampak jelas bahwa kesulitan belajar itu
ternyata bukan hanya disebabkan oleh ketidakmampuan anak secara individu
(pembawaan), akan tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor lingkungan, baik
lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal (pergaulan), dan juga lingkungan
sekolah.
Hal
yang mesti dilakukan terhadap Erul adalah dengan mengurangi waktu bermainnya
secara perlahan, namun bukan meniadakan waktu bermainnya. Karena dunia
anak-anak adalah dunia bermain, jangan sampai mereka kehilangan dunia masa
anak-anak mereka yang berharga ini. Yang kedua, mulai kembali mendekatinya
secara emosional untuk menemukan kembali kedekatan yang sempat memudar. Sebab
jika kita memiliki ikatan emosional yang erat dengan mereka, akan lebih
memudahkan untuk menyentuh hatinya. Kemudian, menerapkan gaya belajar sambil
bermain mungkin adalah metode yang tepat untuk Erul, selain bisa membawanya
kembali pada konsentrasinya dalam belajar, kesenangannya dalam bermain pun
tidak akan serta merta dipisahkan darinya.
Memang
sulit jika hal ini sepenuhya hanya dibebankan kepada si anak, karena di usia
mereka yang masih sangat belia ini, mereka belum tahu apa-apa dan belum
mengerti dengan apa yang mereka sendiri lakukan. Oleh karena itu Setiap oknum
yang terkait dalam proses belajar anak harus mampu menjalankan perannya
masing-masing. Diperlukan kesadaran akan tanggung jawab dari semua pihak baik
orang tua, keluarga, guru, dan lingkungan serta dari si anak sendiri untuk
saling menyokong dan bekerjasama dalam merintis, mengarahkan, membimbing,
mendukung anak dengan berbagai cara yang tepat guna mengembangkan minat
belajarnya, serta mengasah kemampuannya untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Jadi,
yang terpenting adalah kita harus mencari tahu faktor penyebab terjadinya
kesulitan belajar mereka agar faktor tersebut dapat dihindari. Kemudian apa
jenis kesulitan yang mereka hadapi? Ini untuk menentukan metode yang akan
dipilih dan digunakan sebagai langkah mengatasi kesulitan belajar. Bagaimanapun
juga ini adalah masalah serius yang harus segera dituntaskan agar tak berlarut-larut dan akan berdampak
buruk pada proses perkembangan anak.
Anak
adalah titipan/amanah Tuhan kepada kita, sudah sepantasnya kita harus menjaga
mereka, memberi nafkah yang halal dan memberikan pendidikan yang layak dan
cukup tentunya. Dan semua itu dimulai dari bagaimana kita memanage mereka untuk
mau belajar agar semua proses pendidikan ini dapat berjalan sebagaimana
mestinya.
By. Aszhe
No comments:
Post a Comment
Leave a comment, please.......:)