Saturday, March 1, 2014

KESULITAN BELAJAR PADA ANAK



Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi siapapun. Tua atau muda, miskin atau kaya, semua orang memerlukan pendidikan. Pendidikan atau menuntut ilmu dalam Islam adalah sebuah keniscayaan atau kewajiban mutlak bagi pria maupun wanita. Menuntut ilmu telah dianjurkan dari semenjak kandungan hingga liang kubur. Proses untuk mendapatkan pendidikan itu disebut dengan Belajar.
Belajar adalah serangkaian kegiatan yang melibatkan jiwa dan raga untuk memperoleh perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, efektif dan psikomotorik. Dari sini diketahui bahwa tujuan belajar adalah untuk memperoleh perubahan tingkah laku termasuk perkembangan pola pikir. Tapi, bagaimana mungkin tujuan itu bisa tercapai jika dalam proses belajar itu ditemukan kesulitan, atau yang biasa disebut dengan kesulitan belajar.
Kesulitan belajar ini biasanya banyak terjadi pada masa anak-anak, khususnya anak-anak di tingkatan sekolah dasar (SD). Kesulitan yang mereka alami biasanya beragam dan juga disebabkan berbagai faktor. Artikel ini sengaja dibuat untuk sedikit mengupas tentang kesulitan belajar yang banyak dialami oleh anak-anak serta faktor-faktor yang membuatnya demikian. Akan dipaparkan satu buah contoh seorang anak yang mengalami kesulitan belajar. Agar dapat dipahami sebab yang menjadikannya dan cara mengatasinya.
Seorang anak yang mengalami masalah kesulitan belajar pada umumnya adalah anak-anak yang memiliki gangguan pada dirinya baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Gangguan fisik itu dapat berupa kelainan fisik (cacat). Contohnya gangguan penglihatan , pendengaran, wicara, atau dapat berupa adanya gangguan pada otak dan sarafnya (autis, amnesia ringan, pelupa). Seorang anak yang memiliki gangguan fungsi otak atau saraf dipastikan memiliki hambatan besar dalam belajar.
Sedangkan gangguan yang bersifat non fisik antara lain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan disekitarnya, baik keluarga, tetangga, teman sepermainan, teman sekolah, dan guru/pendidik. Keluarga yang terdiri dari orang tua, saudara, nenek, termasuk pembantu adalah lingkungan yang pertama kali memberi pengaruh terhadap pembentukan karakter seorang anak dalam hal ini kemampuannya dalam menerima pelajaran.
Jika seorang anak hidup di tengah-tengah sebuah keluarga yang mapan dalam hal materi, tercukupi segala kebutuhannya lahir dan batin maka mereka akan lebih mudah berkonsentrasi saat belajar. Karena akan menunjang mereka dalam pemenuhan segala fasilitas yang diperlukan dalam peningkatan kualitas belajarnya. Sebaliknya, seorang anak yang hidup dalam kondisi keluarga yang memiliki keterbatasan finansial, ini menjadi masalah tersendiri. 
Pernyataan diatas bukanlah kebenaran yang mutlak. Sebab pada kenyataannya kita banyak melihat bagaimana materi tidak selalu menjadi ukuran kesuksesan atau kebahagiaan. Beberapa keluarga sederhana dengan kemampuan finansial yang memadai justru lebih harmonis dan memiliki anak-anak yang mampu berkonsentrasi dalam pelajaran. Sementara anak-anak yang mendapatkan materi lebih dari cukup dari orang tuanya cenderung mengalami masalah yang dapat mengganggu konsentrasi belajarnya. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, misalnya ketidakakuran dengan saudara-saudaranya, orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sehingga hanya memiliki sedikit waktu untuk memberi perhatian kepada anak-anak mereka. Apalagi jika mereka adalah korban broken home dimana kedua keluarganya telah bercerai atau dalam proses perceraian. Hal ini akan membuat anak-anak ini menjadi terpukul dan bisa memberi dampak buruk bagi mereka.
Selain lingkungan keluarga, lingkungan kedua yang mempengaruhi proses belajar anak adalah lingkungan sekolah. Pada umumnya setiap anak didik menghabiskan waktunya rata-rata 5-7 jam perhari di sekolah selama 5-6 hari seminggu. Sekolah juga disebut-sebut sebagi rumah kedua bagi mereka. Sekolah adalah rumah kedua, itu berarti oknum-oknum di dalamnya adalah keluarga, yang terdiri dari guru sebagai orang tua, teman-teman selaku saudara, penjaga sekolah dan satpam pun punya peran yang sama dengan pembantu dan satpam di rumah.
Guru yang didaulat sebagai orang tua kedua anak di sekolah memiliki peran paling besar dalam membimbing setiap anak didik. Guru bertanggungjawab untuk mengarahkan, mengajarkan, membimbing, menaseheti setiap anak didik tanpa terkecuali tanpa pandang bulu agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara baik. Diharapkan seorang guru memiliki kepekaan dalam menangkap sinyal dari anak didiknya akan adanya masalah kesulitan belajar. Tanggap dan cepat mengambil tindakan untuk mengatasi hal tersebut sebelum semuanya menjadi semakin parah.
Teman-teman sekolahnya baik sekelas maupun dari kelas lain juga tidak kalah berperannya, diantara mereka ada pula yang merupakan teman sepermainan dilingkungan tempat tinggalnya. Anak-anak ini memberi pengaruh baik dan buruk secara timbal balik, karena sesama anak didik mereka kerap menjadi korban juga sebagai pemberi pengaruh buruk . Dalam pergaulan sehari-hari mereka, banyak hal yang terjadi. Pergaulan dengan teman yang “salah” akan memberi pengaruh buruk bagi si anak. Tidak dapat dipungkiri bahwa bermain adalah dunia anak-anak, namun intensitas bermain yang tinggi akan mengganggu konsentrasi anak dalam belajar, sebab si anak akan selalu terorientasi pada aktivitas bermain.
Kami mengambil satu contoh seorang anak yang mengalami kesulitan belajar di Samarinda. Anak tersebut bernama Chairul Adhitya atau biasa dipanggil Erul yang berumur 9 tahun. Erul adalah anak dari keluarga broken home, kedua orang tuanya telah resmi bercerai dan kini ia diasuh oleh ibunya. Erul dan ibunya masih tinggal bersama kakek dan neneknya serta saudara-saudara ibunya. Bisa dikatakan bahwa Erul mendapatkan kasih sayang yang cukup dari ibunya. Meskipun ayahnya telah  “putus hubungan” dengannya, akan tetapi ia mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kakek, nenek, paman dan bibinya. Sejak kecil Erul terlihat cukup cerdas untuk anak seusianya saat masih balita, hal itu terlihat bagaimana ia dapat melalui semua tahap perkembangan balita dengan baik dan bahkan cenderung terlihat mencolok dari sisi kecerdasan.
Ketika Erul mulai memasuki dunia sekolah semua masih tampak normal awalnya. Namun, dunia baru yang dimasukinya itu membuat ia mulai mengenal lebih banyak teman dan dengan cepat mengajarinya tentang bergaul dengan teman yang beragam. Ini juga berimbas pada kehidupan sehari-harinya di luar jam sekolah. Ia mulai banyak bergaul dan bermain. Tidak tanggung-tanggung jika sebelumnya ia bermain hanya 1-2 jam perhari saja selepas pulang sekolah, sekarang ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam bermain di luar. Apalagi pada hari libur (hari Minggu atau hari Libur Nasional) ia bisa berada di luar rumah dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore.
Tumbuh di antara “beberapa” orang tua yang sangat menyayanginya ternyata telah membuat Erul sedikit manja, setiap keinginannya mutlak dipenuhi. Ketika ia melakukan kesalahan dan mendapat hukuman dari ibunya, maka kakek, nenek, paman dan bibinya akan membelanya. Selain itu, watak keras kepala yang diturunkan secara genetika oleh ibunya, dan sifat cuek atau masa bodoh dari ayahnya dengan mantab membentuk karakter Erul. Alhasil, ia sulit untuk dinasehati atau sekedar ditegur. Semakin beranjak besar sikap dan watak Erul semakin menjadi-jadi saja, yang dibuat gerah pun bukan ibunya saja, akan tetapi orang-orang yang tadinya begitu memanjakannya berubah “sangar” terhadapnya. Tingkahnya yang tak terkontrol membuat orang-orang tuanya ini mulai menempuh cara sedikit bahkan lebih keras terhadapnya. Bukannya berubah jadi baik, justru hal itu membuat Erul jadi “jauh” secara emosional dengan keluarga yang tadinya begitu dekat dengannya.
Sifatnya yang sulit dinasehati untuk belajar dan lebih banyak bermain, berhasil merusak konsentrasi pada aktifitas belajarnya. Ia pun mengalami kesulitan belajar yang tergolong cukup parah, yaitu kesulitan membaca, menulis, berhitung, mengenali huruf, mengeja, hingga mengingat apa yang telah disampaikan kepadanya. Meskipun Erul belum pernah tinggal kelas, tapi ini bukan jaminan bahwa proses pendidikan yang ia dapatkan di sekolah dapat dikatakan berhasil. Karena, walau saat ini Erul telah duduk di bangku kelas 4 SD, tapi tetap saja ia belum bisa membaca dengan baik dan benar.
Berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi hal ini, seperti mengikutsertakannya pada kegiatan les tambahan dari gurunya di sekolah,  tapi rasanya semua terlihat nihil tanpa hasil yang memuaskan atau sekedar sedikit lebih baik. Kurangnya minat Erul untuk belajar adalah salah satu faktor utama, karena yang ada dipikirannya hanyalah bermain. Faktor lain yaitu kurangnya pengetahuan para orang tua tentang seluk beluk perkembangan anak juga menjadi masalah serius. Bagaimana si orang tua dapat memberikan bimbingan yang baik terhadap si anak jika mereka sendiri sama sekali tidak paham bagaimana cara menyikapi proses perkembangan mental si anak, sehingga merekapun tidak tahu teknik atau metode apa yang seharusnya digunakan dalam mendidik anak tersebut.
Jika memperhatikan kasus Erul di atas, tampak jelas bahwa kesulitan belajar itu ternyata bukan hanya disebabkan oleh ketidakmampuan anak secara individu (pembawaan), akan tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor lingkungan, baik lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal (pergaulan), dan juga lingkungan sekolah.
Hal yang mesti dilakukan terhadap Erul adalah dengan mengurangi waktu bermainnya secara perlahan, namun bukan meniadakan waktu bermainnya. Karena dunia anak-anak adalah dunia bermain, jangan sampai mereka kehilangan dunia masa anak-anak mereka yang berharga ini. Yang kedua, mulai kembali mendekatinya secara emosional untuk menemukan kembali kedekatan yang sempat memudar. Sebab jika kita memiliki ikatan emosional yang erat dengan mereka, akan lebih memudahkan untuk menyentuh hatinya. Kemudian, menerapkan gaya belajar sambil bermain mungkin adalah metode yang tepat untuk Erul, selain bisa membawanya kembali pada konsentrasinya dalam belajar, kesenangannya dalam bermain pun tidak akan serta merta dipisahkan darinya.
 Memang sulit jika hal ini sepenuhya hanya dibebankan kepada si anak, karena di usia mereka yang masih sangat belia ini, mereka belum tahu apa-apa dan belum mengerti dengan apa yang mereka sendiri lakukan. Oleh karena itu Setiap oknum yang terkait dalam proses belajar anak harus mampu menjalankan perannya masing-masing. Diperlukan kesadaran akan tanggung jawab dari semua pihak baik orang tua, keluarga, guru, dan lingkungan serta dari si anak sendiri untuk saling menyokong dan bekerjasama dalam merintis, mengarahkan, membimbing, mendukung anak dengan berbagai cara yang tepat guna mengembangkan minat belajarnya, serta mengasah kemampuannya untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Jadi, yang terpenting adalah kita harus mencari tahu faktor penyebab terjadinya kesulitan belajar mereka agar faktor tersebut dapat dihindari. Kemudian apa jenis kesulitan yang mereka hadapi? Ini untuk menentukan metode yang akan dipilih dan digunakan sebagai langkah mengatasi kesulitan belajar. Bagaimanapun juga ini adalah masalah serius yang harus segera dituntaskan  agar tak berlarut-larut dan akan berdampak buruk pada proses perkembangan anak.
Anak adalah titipan/amanah Tuhan kepada kita, sudah sepantasnya kita harus menjaga mereka, memberi nafkah yang halal dan memberikan pendidikan yang layak dan cukup tentunya. Dan semua itu dimulai dari bagaimana kita memanage mereka untuk mau belajar agar semua proses pendidikan ini dapat berjalan sebagaimana mestinya. 

By. Aszhe








No comments:

Post a Comment

Leave a comment, please.......:)

Wahai Diriku....

Dzikir inilah yang setiap hari paling sering kita lafadzkan....

Suamiku....suamiku
Istriku.......istriku
Anakku......anakku
Hartaku.....hartaku
Pangkatku...pangkatku

Lalu mana....
Allah-ku......Allah-ku
Selamatkan aku...Selamatkanlah aku
Ampuni aku......Ampunilah aku


uje - - - huruf kecil saja