Wednesday, January 22, 2014

Makalah Pendidikan Kaum Khawarij



BAB I

PENDAHULUAN

            Setiap orang yang ingin mengetahui seluk beluk agamanya secara mendalam, sehingga perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agamanya. Mempelajari teologi akan memberikan seseorang keyakinan yang didasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan zaman. Teologi dalam Islam dikenal dengan nama “Ilmu Aqaid” atau “Ilmu Tauhid”. Dinamakan demikian karena dalam Islam keyakinan tentang ke-Maha Esaan Tuhan adalah termasuk ajaran yang sangat penting. Teologi Islam disebut juga “Ilmu Kalam”. Dinamakan demikian, karena masalah “kalam” atau firman Tuhan, yaitu Al Quran, yang pernah menjadi polemik keras yang menimbulkan pertentangan-pertentangan dikalangan umat Islam terutama dalam abad 9 sampai 10 Masehi yang membawa penganiayaan-penganiayaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslim pada waktu itu.
Dalam Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional dan ada pula yang bersifat tengah-tengah antara liberal dan tradisional. Hal ini mungkin ada hikmahnya. Orang yang bersifat tradisional dalam pemikirannya, mungkin lebih sesuai dan dapat menerima paham-paham dari ajaran teologi tradisional. Sedangkan orang yang bersifat liberal dalam pemikirannya, dapat menerima paham-paham dari ajaran teologi liberal.
Dalam soal paham jabariyah (fatalisme) dan paham qadariyah (free will) misalnya, orang yang bersifat liberal dalam pemikirannya, tentu tidak dapat menerima paham jabariyah (fatalisme). Baginya paham qadariyah (freewill) yang terdapat dalam ajaran teologi liberalism lebih sesuai dengan jiwa dan pemikirannya. Begitu pula sebaliknya. Adapun beberapa aliran teologi dalam Islam, yaitu aliran Khawarij, aliran Murji’ah, aliran Qadariyah dan aliran Jabariyah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Arti Kata Khawarij
Sebagaimana diketahui dalam sejarah Islam, bahwa kaum khawarij pada mulanya adalah pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib, tetapi kemudian mereka meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap Ali bin Abi Thalib yang menerima “tahkim” (arbitrase) sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaannya dengan Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan. Nama “Khawarij” berasal dari kata “kharaja” yang berarti “keluar”. Nama tersebut diberikan kepada mereka karena mereka menyatakan diri keluar dari barisan Ali dalam persengketaannya dengan Mu’awiyah. Ada pula pendapat lain yang mengatakan, bahwa pemberian nama “Khawarij” tersebut didasarkan pada ayat 100 dari surat An-Nisa yang artinya : “ Dan barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dengan demikian kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai kaum yang berhijrah meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya untuk memperoleh pahala dari Allah SWT.

B. Nama-Nama Lain Bagi Kaum Khawarij
Selanjutnya mereka menyebutkan diri mereka sebagai kaum “Syurah”, yang berasal dari kata “Yasyri” yang berarti menjual. Penyebutan nama tersebut didasarkan kepada ayat 207 dari Surat Al-Baqarah, yang artinya : “Dan di antara segolongan manusia ada yang menjual dirinya untuk memperoleh keridhaan Allah, dan Allah itu Maha Pengasih kepada hamba-hambaNya”.
Mereka seringkali disebut juga “Haruriyah” yang berasal dari “Harura”, yaitu nama sebuah desa di dekat kota Kufah di Irak. Di tempat inilah mereka yang pada waktu itu berjumlah dua belas ribu orang berkumpul setelah memisahkan diri dari barisan Ali bin Abi Thalib sebagai anti dari Ali.
Dalam pertempuran dengan kekuatan Ali mereka mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya seseorang yang bernama Abd al-Rahman ibn al-Muljam dapat membunuh Ali bin Abi Thalib. Walaupun kaum khawarij mengalami kekalahan besar, namun mereka dapat menyusun kembali barisan mereka untuk meneruskan perlawanan mereka terhadap kekuasaan Islam resmi, baik di zaman dinasti Bani Umayyah maupun di zaman kekuasaan dinasti Bani Abbas. Mereka menganggap bahwa pemegang-pemegang kekuasaan yang ada pada waktu itu telah menyeleweng dari Islam, karena itu mesti ditentang dan dijatuhkan.

C. Latar Belakang Timbulnya Aliran Khawarij
Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah, bahwa Nabi Muhammad di samping sebagai Rasul beliau juga pemimpin umat. Ini berarti bahwa Islam disamping sebagai sistem agama, juga sebagai sistem politik, yang mengatur tentang ketatanegaraan. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau pada waktu Nabi Muhammad wafat, masyarakat Madinah menjadi bingung memikirkan pengganti beliau sebagai pemimpin ummat. Maka timbullah masalah besar bagi mereka, yaitu siapakah yang akan menggantikan beliau. Masalah ini dikenal dalam sejarah Islam sebagai masalah khilafah. Sebagai Nabi atau Rasul, mereka tidak mempersoalkannya, sebab Nabi atau Rasul itu tidak dapat digantikan.
Dalam sejarah diketahui bahwa masyarakat Islam pada waktu itu menyetujui Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad dalam memimpin mereka. Karena itu Abu Bakar dikenal sebagai khalifah pertama. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh Umar ibn al-Khatab sebagai khalifah kedua, dan kemudian Umar digantikan oleh Usman ibn Affan sebagai khalifah ketiga. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, Usman termasuk dalam golongan terpandang dan berpengalaman di kalangan masyarakat Quraisy. Keluarganya terdiri dari orang-orang aristokrasi Mekkah, pedagang kaya, dan mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini sangat bermanfaat dalam mengelola administrasi daerah-daerah di luar semenanjung Arabia, yang semakin lama semakin bertambah banyak masuk di bawah kekuasaan Islam.
Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar ibn al Khattab, khalifah yang terkenal sebagai orang kuat dan tak memikirkan kepentingan sendiri atau kepentingan keluarganya itu dijatuhkan oleh Usman. Tindakan-tindakan politik yang dijalankan Usman ini sudah barang tentu menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi khalifah Usman sendiri. Sahabat-sahabat Nabi yang mulanya menyokong Usman, ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan tidak senang muncul di daerah-daerah.
Dari Mesir sebagai reaksi terhadap dijatuhkannya Umar ibn al-As yang digantikan oleh Abdullah ibn Sa’d ibn Abi Sarh, salah satu anggota kaum keluarga Usman, sebagai Gubernur Mesir, lima ratus pemberontak bergerak ke Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya menimbulkan pembunuhan terhadap Usman, yang dilakukan oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir ini. Setelah Usman wafat, maka Ali menjadi khalifah yang keempat. Tetapi ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubair dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan dari Aisyah, Talhah, dan Zubair ini dapat dipatahkan oleh kekuatan Ali. Dalam pertempuran yang terjadi di Irak pada tahun 656 M. Talhah dan Zubair mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Selanjutnya Al-Tabari menerangkan, bahwa tantangan kedua datang dari Mu’awiyah, gubernur Damaskus dan keluarga dekat Usman. Seperti halnya Talhah dan Zubair, ia tak mau mengakui Ali sebagai khalifah. Ia menuntut kepada Ali agar ia menghukum orang-orang yang membunuh Usman. Bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan itu. Salah seorang pemuka pemberontak Mesir yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Usman adalah Muhammad ibn Abi Bakr, anak angkatnya Ali bin Abi Thalib. Lagi pula Ali nampak tidak mengambil tindakan keras terhadap kaum pemberontak itu, bahkan Muhammad ibn Abi Bakr diangkat oleh Ali menjadi Gubernur Mesir.
Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di Siffin, pasukan Ali dapat mendesak pasukan Mu’awiyah. Tetapi tangan kanan Mu’awiyah, yaitu Amr ibn al-‘As, yang terkenal sebagai orang yang sangat licik, minta berdamai dengan mengangkatkan Quran keatas. Qurra’ yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu, dan dengan demikian dicarinyalah perdamaian dengan mengadakan arbitrase (tahkim). Sebagai arbiters diangkatlah dua orang, yaitu Amr ibn al-As dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali.
Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr ibn al-‘As dapat mengalahkan Abu Musa yang terkenal sangat takwa itu. Dalam sejarah dapat dibaca, bahwa antara Amr ibn al-‘As dan Abu Musa al-Asy’ari terjadi kesepakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang saling bertentangan itu, yaitu Ali dan Mu’awiyah. Menurut tradisi, orang yang lebih tua harus melakukannya lebih dahulu. Maka berdirilah Abu Musa al-Asy’ari untuk mengumumkan kepada khalayak ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu, sesuai dengan kesepakatan mereka. Kemudian setelah itu berdirilah Amr ibn al-‘As, dan mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa ia hanya menyetujui penjatuhan Ali, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah. Dengan demikian Amr ibn al-‘As telah sengaja melanggar kesepakatan bersama, dan itulah kelicikannya terhadap Abu Musa al-Asy’ari.
Maka jelaslah bagi anda, bahwa kejadian tersebut sangat merugikan Ali dan sangat menguntungkan Mu’awiyah. Padahal yang sah menurut hukum Alilah yang berhak menjadi khalifah, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Tetapi dengan arbitrage ini Mu’awiyah dapat diangkat menjadi khalifah. Karena itu tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak oleh Ali, dan ia tak mau meletakkan jabatannya sebagai khalifah, sampai beliau wafat karena terbunuh pada tahun 661 M.
Keadaan Ali menerima tipu muslihat Amr ibn al-‘As dalam arbitrase, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak dapat diterima oleh sebagian dari pasukannya. Mereka berpendapat, bahwa putusan serupa itu tidak dapat diberikan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya dapat diterima apabila datang dari Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran bahwa “ Tidak ada hukum selain dari hukum Allah”.
Menurut mereka Ali telah melakukan kesalahan, karena tidak berpegang kepada hukum Allah. Karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan yang keluar dari barisan Ali inilah yang dalam sejarah dikenal dengan nama Khawarij. Mereka memisahkan diri dari barisan Ali. Karena menganggap Ali bersalah dan berbuat dosa, maka mereka memusuhi Ali, sehingga Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu pasukan Mu’awiyah dan kaum Khawarij. Karena selalu mendapat serangan dari golongan Khawarij, maka Ali harus memusatkan perhatiannya untuk menghancurkan kaum Khawarij itu lebih dahulu.
Tetapi setelah mereka ini kalah, pasukan Ali merasa sudah terlalu capai untuk meneruskan pertempuran dengan. pasukan Mu’awiyah. Karena itu Mu’awiyah tetap berkuasa di Damaskus, dan setelah Ali ibn Abi Thalib wafat Mu’awiyah dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai Khalifah Umat Islam pada tahun 661 M.

D. Paham Teologi Khawarij
Prof. Dr. Harun Nasution menyatakan bahwa menurut Abu Zahrah, timbulnya paham teologi dalam kalangan kaum khawarij bermula dari paham mereka dalam masalah-masalah politik/ketatanegaraan. Dalam lapangan ketatanegaraan mereka memang mempunyai paham yang berlawanan dengan paham yang ada pada waktu itu. Mereka lebih bersifat demokratis, karena menurut mereka khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam, yang berhak menjadi Khalifah itu bukan hanya anggota suku bangsa Quraisy, bahkan juga bukan hanya orang Arab saja, tetapi siapa saja orang Islam yang sanggup dan mampu, walaupun ia seorang hamba yang berasal dari Afrika. Khalifah yang terpilih akan terus memegang jabatannya selama ia masih bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Tetapi kalau ia sudah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, maka ia wajib dijatuhkan atau dibunuh.
Selanjutnya di dalam kitab Maqalat disebutkan, bahwa dalam hubungannya dengan khalifah-khalifah yang empat, maka khalifah atau pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn al Khattab seluruhnya dapat mereka terima, karena kedua khalifah tersebut diangkat dan tidak menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam. Akan tetapi pada pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, menurut pandangan mereka Ali telah menyeleweng dari ajaran Islam sejak terjadinya peristiwa arbitrage (tahkim) sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Karena itu Usman dan Ali menurut pandangan mereka telah menjadi kafir. Demikian pula Mu’awiyah, Amr ibn al ‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang mereka anggap telah menyimpang atau menyeleweng dari ajaran Islam yang benar.
Dengan demikian dalam kalangan kaum khawarij mulai memasuki persoalan “kufr”: siapakah yang disebut “kafir”, dan mereka anggap keluar dari Islam, dan siapa pula yang disebut “mukmin”, dan mereka anggap tidak keluar dari Islam. Persoalan-persoalan serupa ini bukan lagi merupakan persoalan politik, tetapi sudah berubah menjadi persoalan teologi. Pendapat tentang siapa yang sebenarnya masih dipandang sebagai orang Islam, dan siapa yang telah keluar dari Islam dan dipandang sebagai orang kafir, serta soal-soal yang bersangkut-paut dengan ini, dikalangan kaum khawarij tidak selamanya sama, sehingga timbullah beberapa golongan kecil atau sub-subsekte dalam kalangan khawarij. Dalam kitab AlMilal waal-Nihal Al-Baqdadi, mereka terpecah menjadi 20 subsekte, bahkan menurut Al-Asy’ari, mereka terpecah menjadi sub-sub sekte yang jumlahnya lebih besar lagi.
Prof. Dr. Harun Nasution menambahkan bahwa kaum Khawarij itu pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Mereka hidup di padang pasir yang tandus, yang membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran mereka, tetapi mereka sangat keras hati dan berani serta bersikap merdeka, tidak mau tergantung pada orang lain. Agama tidak membawa perubahan dalam sifat-sifat ke Badawian. Mereka telah bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi, mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis, mereka artikan menurut lafadznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya.
Oleh karena itu iman dan pemahaman mereka sangat sederhana, sempit dan fanatic. Iman mereka tebal, tetapi pandangan mereka sempit ditambah dengan sikap mereka yang fanatic, ini membuat mereka tidak dapat mentolerir hal-hal yang kelihatannya menyimpang dari ajaran Islam menurut paham mereka. Inilah nampaknya yang menjadi factor penyebab mengapa kaum khawarij terpecah-pecah menjadi golongan-golongan kecil, dan mengapa mereka terus-menerus bersikap mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.

E. Sub-Sub Sekte dalam Khawarif
Diantara sub-sub sekte dari aliran khawarij tersebut ialah :

1.      Al- Muhakkimah Al-Muhakkimah
Adalah golongan khawarij asli, bekas pengikut-pengikut Ali, yang kemudian memisahkan diri, dan kemudian menentang Ali. Menurut golongan ini, Ali dan Mu’awiyah serta kedua pengantarnya, yaitu Amr ibn ‘As dan Abu Musa Al-Asy’ari, serta semua orang yang telah menyetujui arbitrase, mereka itu telah melakukan perbuatan salah, karena menyimpang dari ajaran Islam, perbuatan mereka itu membuat mereka menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya, sehingga orang yang melakukan dosa besar pun termasuk orang yang telah kafir. Berbuat zina, membunuh sesama muslim adalah termasuk dosa besar, karena itu menurut golongan ini orang yang mengerjakan zina atau membunuh sesama muslim telah menjadi orang kafir, dan dikeluarkan dari Islam. Demikian pula dengan dosa-dosa besar lainnya.

2.      Al-Azariqah
Golongan ini muncul setelah hancurnya golongan Al Muhakkimah, dan golongan ini kemudian menjadi lebih besar dan lebih kuat dibandingkan dengan golongan Al Muhakkimah sendiri. Daerah-daerah kekuasaan mereka terletak di perbatasan antara Iran dan Irak. Nama Al Azariqah diambil dari nama seorang pemuka golongan ini, yaitu; Nafi’ ibn al-Azraq. Dalam kitab Al-Farqu baina al-firaq, al-Bagdadi itu menyebutkan bahwa jumlah pengikut al-Azariqah mencapai 20.000 orang.
Sebagai khalifah yang pertama mereka memilih Nafi’ ibn al Azraq, dan kepadanya diberi gelar; “Amir al-Mu’minin”. Nafi’ meninggal dunia dalam pertempuran di Irak pada tahun 686 M. Golongan ini mempunyai sikap yang lebih radikal di bandingkan dengan golongan al-Muhakkimah. Orang yang melakukan perbuatan dosa besar tidak lagi mereka sebut sebagai orang yang kafir, seperti dalam golongan al Muhakkimah, tetapi mereka sebut sebagai orang yang ‘musyrik’ (politeist). Padalah di dalam Islam, musyrik itu merupakan dosa yang paling besar. Musyrik lebih besar dosanya daripada kafir. Bahkan orang-orang Islam yang sepaham dengan al-Azariqah, tetapi mereka tidak berhijrah kedalam lingkungan mereka, mereka juga dipandang sebagai orang yang musyrik.
Dengan kata lain, orang-orang dari golongan al-Azariqah sendiri, apabila tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka, juga dianggap sebagai orang musyrik. Selanjutnya al-Bagdadi menyebutkan, bahwa barang siapa yang datang ke daerah mereka, dan mengaku sebagai pengikut al-Azariqah, maka mereka tidak dapat diterima begitu saja, sebelum mereka lulus dalam menjalani suatu ujian, yaitu mau membunuh seorang yang ditawan. Kalau ia telah berhasil membunuh tawanan, maka ia diterima sebagai pengikut al-Azariqah yang baik, tetapi apabila ia tidak berhasil membunuh tawanan tersebut maka ia sendirilah yang harus dihukum bunuh. Keengganan membunuh tawanan itu dianggap sebagai bukti bahwa ia berdusta dan sebenarnya ia itu bukan penganut paham al-Azariqah. Bahkan anak-anak dan istri-istri orang-orang yang demikian dijadikan budak ataupun dibunuh.
Prof. Dr. Harun Nasution menambahkan, bahwa golongan al-Azariqah ini mempunyai paham, hanya daerah mereka sajalah yang merupakan “Dar al Islam”, sedangkan daerah-daerah Islam lainnya merupakan “Dar al Herb”, atau “Dar al-Kufr”, karena itu wajib diperangi. Dan yang mereka pandang musyrik itu bukan hanya orang-orang yang telah dewasa, tetapi juga anak-anak mereka,  mereka pandang musyrik. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, golongan al-Azariqah ini jelas mempunyai paham yang sangat ekstrim, sebab menurut paham mereka, hanya mereka sajalah yang, sebenarnya Islam. Orang Islam yang berdomisili di luar lingkungan mereka adalah kaum musyrik yang harus diperangi.

3.      Al-Nadjat
Nama golongan ini diambil dari nama seorang pemuka dari golongan ini, yaitu; Najdah ibn “Amr al-Hanafi”. Ia berasal dari daerah Yamamah. Menurut Al-Bagdadi, pada mulanya golongan ini ingin menggabungkan diri dengan orang al-Azariqah, tetapi karena dalam kalangan al Azariqah ini timbul perpecahan, maka mereka tidak jadi menggabungkan diri dengan alAzariqah. Perpecahan dalam kalangan al-Azariqah itu disebabkan oleh sebagian dari pengikut-pengikut Nafi’ibn al-Azraq, diantaranya ialah Abu Fudaik, Rasyidal Tawil dan ‘Atiah al-Hanafi, mereka tidak dapat menyetujui paham bahwa pengikut-pengikut al-Azariqah yang tidak mau berhijrah ke daerah lingkungan mereka pandang sebagai golongan musyrik. Mereka juga tidak setuju dengan paham dalam golongan al-Azariqah, bahwa anak-anak dan istri-istri orang yang tak sepaham dengan golongan al-Azariqah itu boleh dibunuh.
Setelah memisahkan diri dari Nafi’ibn al Azraq, Abu Fudaik dan kawan-kawannya pergi ke Yamamah. Disinilah mereka membujuk Najdah bergabung dengan mereka dan menentang kekuasaan Nafi’ ibn al azraq. Selanjutnya Abu Fudaik pengikut-pengikut Najdah bersatu, dan memilih Najdah ibn ‘Amir al-Hanafi’ sebagai Imam mereka. Mereka tidak mau mengakui lagi Nafi ‘ibn al-Azraq sebagai Imam. Bahkan mereka telah menganggap Nafi’ telah menjadi kafir, dan orang-orang yang masih mengikutinya pun mereka pandang sebagai orang-orang yang kafir juga.
 Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, dalam kalangan khawarij, golongan al-Nadjat inilah kelihatan yang pertama kali membawa paham taqiyah, yaitu paham bahwa seseorang boleh saja merahasiakan atau menyembunyikan keyakinannya atau keimanannya, demi untuk menjaga keamanan dirinya dari musuhnya. Taqiyah menurut pandangan mereka, bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi boleh juga dalam bentuk perbuatan. Jadi seseorang boleh mengucapkan kata-kata dan boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang mungkin menunjukkan bahwa pada lahirnya ia bukan orang Islam, tetapi pada hakekatnya ia tetap penganut agama Islam.
Di kemudian hari terjadilah perpecahan diantara pengikut-pengikut al-Najdah. Perpecahan itu disebabkan oleh sebagian pengikut al-Najdah itu tidak dapat menerima bahwa orang yang melakukan dosa kecil itu bisa menjadi dosa besar. Tetapi menurut al-Bagdadi, perpecahan di kalangan mereka itu terutama disebabkan oleh pembagian ghanimah (harta rampasan perang), dan sikap lunak yang dilakukan oleh Najdah terhadap Khalifah ‘Abd al-Malik ibn Marwandari dinasti Bani Umayah.
Dalam masalah ghanimah, pernah mereka memperolah harta rampasan dalam peperangan, tetapi mereka tidak mengeluarkan seperlima lebih dulu, mereka langsung membaginya untuk orang-orang yang turut dalam peperangan. Hal ini diangapnya bertentangan dengan ketentuan dalam AlQuran. Dan sikap lunak yang ditunjukkan oleh Najdah kepada Khalifah ‘Abd al-Malik ialah bahwa dalam serangan terhadap kota Madinah,mereka dapat menawan seorang anak perempuan. Khalifah ‘Abd al-Malik meminta kembali tawanan itu, ternyata permintaan itu dikabulkan oleh Najdah.
Sikap seperti itu tentu saja tak dapat diterima oleh sebagian pengikut-pengikut mereka, karena Khalifah ‘Abd al-Malik adalah musuh mereka. Dalam perpecahan itu Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil, dan Atiah al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah. Atiah mengasingkan diri ke Sijistan di Iran, sedangkan Abu Fudaik dan Rasyid al-Tawil mengadakan perlawanan terhadap Najdah. Akhirnya Najdah dapat mereka tangkap dan mereka potong lehernya.

4.      Al-Ajaridah
Golongan ini dinamakan Al-Ajaridah, karena mereka itu adalah pengikut dari ‘Abd Karim ibn ‘Ajrad, yang menurut al-Syahrastani, termasuk salah seorang teman dari ‘Atiah al-Hanafi. Menurut al-Bagdadi, paham al-Ajaridah ini lebih lunak dibandingkan dengan golongan-golongan lain dalam kalangan khawarij. Menurut paham mereka, berhijrah bukanlah merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam sebagaimana diajarkan dalam paham al-Azariqah dan paham al-Nadjat. Bagi mereka berhijrah itu hanyalah merupakan ajaran kebajikan. Dengan demikian mereka bebas tinggal dimana saja dalam daerah kekuasaan mereka, dan mereka tidak dianggap sebagai orang kafir.
Mengenai harta yang boleh dijadikan sebagai harta rampasan perang, menurut mereka hanyalah harta musuh yang telah mati terbunuh. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, kaum Ajaridah ini mempunyai paham puritanisme. Surat Yusuf dalam Al Quran membawa cerita tentang cinta. Menurut mereka Al Quran sebagai kitab suci, tidak mungkin mengandung cerita cinta. Oleh karena itu mereka tidak mengakui surat Yusuf sebagai bagian dalam Al-Quran.

5.      Al-Sufriyah
Golongan ini dinamakan demikian, karena pemimpin golongan ini ialah Ziad ibn al-Asfar. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, golongan Al-Sufriyah ini mempunyai paham yang agak ekstrim dibandingankan dengan yang lain. Diantara pendapat-pendapat mereka itu ialah :
a.       Orang sufriyah yang tidak berhijrah tidak dianggap menjadi kafir.
b.      Mereka tidak sependapat, bahwa anak-anak orang yang musyrik itu boleh dibunuh.
c.       Selanjutnya tidak semua orang sufriyah sependapat bahwa orang yang melakukan dosa besar itu telah menjadi musyrik. Ada diantara mereka yang membagi dosa besar menjadi dua golongan, yaitu daosa yang diancam dengan hukum dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tidak diancam dengan hukum dunia, tetapi diancam dengan hukuman karena di akhirat, seperti dosa karena meninggalkan shalat atau puasa bulan Ramadhan. Orang yang berbuat dosa besar golongan pertama, tidak dipandang kafir, tetapi orang yang berbuat dosa golongan kedua itulah yang dipandang kafir.
d.      Daerah golongan Islam yang tidak sepaham dengan mereka, tidak dianggap sebagai dar al harb, yaitu daerah yang harus diperangi. Menurut mereka, daerah yang boleh diperangi itu hanya daerah ma’askar, yaitu markas-markas pasukan musuh. Anak-anak dan wanita-wanita tidak boleh dijadikan tawanan atau dibunuh.
e.       Menurut mereka kufur itu ada dua macam yaitu : kufr bi inkar al-ni’mah, yaitu kufur karena mengingkari rahmat Tuhan, dan kufr bin inkar al-rububiyah, yaitu kufur karena mengingkari adanya Tuhan. Karena itu menurut mereka, tidak selamanya sebutan kafir itu mesti diartikan keluar dari Islam.
f.       Menurut mereka, taqiyah hanya dibolehkan dalam bentuk perkataan saja, dan tidak boleh dalam bentuk perbuatan. Tetapi sungguhpun demikian, untuk menjaga keamanan dirinya, seorang wanita Islam boleh kawin dengan laki-laki kafir, apabila dia berada di daerah bukan Islam.

6.      Al-Ibadiyah
Nama golongan ini diambil dari nama seorang pemuka mereka yaitu Abdullah ibn Ibad. Pada mulanya dia adalah pengikut golongan al-Azariqah, tetapi pada tahun 686 M, ia memisahkan diri dari golongan al-Azariqah. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, golongan al-Ibadiyah ini merupakan golongan yang paling moderat di bandingkan dengan golongan-golongan khawarij lainnya. Paham moderat mereka itu dapat dilihat dari ajaran-ajaran mereka sebagai berikut:
a.       Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka, mereka itu bukan mukmin dan bukan pula musyrik, mereka itu adalah kafir. Dengan orang Islam yang demikian boleh diadakan hubungan perkawinan dan hubungan warisan. Syahadat mereka dapat diterima. Membunuh mereka haram hukumnya.
b.      Daerah orang Islam yang tidak sepaham dengan golongan al-Ibadiyah, kecuali markas pemerintah, merupakan afar al-tawhid, yaitu daerah orang yang meng-Esakan Tuhan, karena itu daerah seperti itu tidak boleh diperangi. Sedangkan daerah ma’askar pemerintah, bagi mereka merupakan afar al-kufr, karena itu harus diperangi.
c.       Orang Islam yang berbuat dosa besar, mereka sebut orang muwahhid, yaitu orang yang mengEsakan Tuhan, tetapi ia bukan orang yang mukmin. Dengan demikian orang Islam yang mengerjakan dosa besar, perbuatannya itu tidak membuatnya keluarnya dari Islam.
d.      Harta yang boleh dijadikan ghanimah (harta rampasan), hanyalah kuda dan senjata saja. Emas dan perak harus dikembalikan kepada yang empunya. Tidak mengherankan kalau paham moderat seperti yang digambarkan diatas membuat Abdullah ibn Ibad tidak mau turut dengan golongan al-Azariqah dalam melawan Khalifah Bani Umayah. Bahkan sebaliknya ia mempunyai hubungan yang baik dengan Khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Demikian pula Jabir ibn Zaid al-Azdi, pemimpin golongan al-Ibadiyah sesudah Ibn Ibad, mempunyai hubungan yang baik dengan al-Hajjah, yang pada waktu itu sedang giat-giatnya memerangi golongan khawarij yang ekstrim. Oleh karena itu, kalau golongan khawarij lainnya telah hilang dan hanya tinggal dalam sejarah saja, maka golongan al-Ibadiah ini masih ada sampai sekarang dan terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Omman dan Arabia Selatan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perang Siffin ini merupakan peristiwa yang sangat penting di dalam perjalanan sejarah umat Islam. Hal ini disebabkan peristiwa politik perang Siffin dan Islam itu membawa akibat terjadinya berbagai perubahan kalangan umat, terutama mengenai sistem kenegaraan, timbulnya golongan-golongan yang satu sama lain saling bertentangan. Perang Siffin meletus akibat dari politik yang dilakukan oleh Khalifah Usman bin Affan pada masa menjelang akhir pemerintahannya. Persoalan politik terus berlanjut dan bahkan makin berkembang setelah usainya perang Siffin, yang akhirnya membawa timbulnya persoalan-persoalan Theologi. Golongan khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amru bin Ash, Abu Musa Al Asy’ari dan lain-lain sudah keluar dari Islam, bahkan dianggap murtad dan wajib dibunuh.
Sesuai dengan firman Tuhan dalam Surah An-Nisa : 100, Khawarij merupakan suatu kaum yang berhijrah meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dan untuk memperolah pahala dari Allah SWT. Kaum Khawarij memisahkan diri dari barisan ‘Ali bin Abi Thalib, karena mereka tidak setuju dengan sikapnya yang menerima tahkim (arbitrase) dalam menyelesaikan persengketaannya dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi dalam pertemuan dengan kekuatan Ali, kaum khawarij mengalami kekalahan besar, tapi akhirnya Ibn al Muljam dapat membunuh Ali bin Abi Thalib. Di kemudian hari kaum Khawarij terpecah-pecah dalam beberap sub-sekte, di antaranya ialah ; 1) Al-Muhakkimah, 2) Al-Azariqah, 3) Al-Najdat, 4) Al-Ajaridah, 5) Al-Sufriyah, dan 6) Al-Ibadiyah.

DAFTAR RUJUKAN

Karim, M.Abdul. 2007. Sejarah Peradaban Islam. Yokyakarta : Pustaka Book Publisher

Al Usairy, Ahmad. 2009. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta: Akbar Media

Khalid, Abu. 2004. Hidup Sesudah Mati. Surabaya : Gali Ilmu

No comments:

Post a Comment

Leave a comment, please.......:)

Wahai Diriku....

Dzikir inilah yang setiap hari paling sering kita lafadzkan....

Suamiku....suamiku
Istriku.......istriku
Anakku......anakku
Hartaku.....hartaku
Pangkatku...pangkatku

Lalu mana....
Allah-ku......Allah-ku
Selamatkan aku...Selamatkanlah aku
Ampuni aku......Ampunilah aku


uje - - - huruf kecil saja