I.
JUDUL
PENGARUH BURUK BROKEN HOME TERHADAP PERKEMBANGAN PSIKIS
DAN JIWA KEBERAGAMAN PADA ANAK USIA DINI
II.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Seorang anak di Samarinda, sebut saja
Arul (bukan nama sebenarnya) mengalami sebuah masalah yang cukup kompleks mengenai
perkembangannya, baik itu yang berkenaan dengan perkembangan kemampuannya
menangkap pelajaran di sekolah, maupun yang berhubungan dengan perkembangan
jiwa keberagamaannya.
Arul kini telah berumur hampir 10 tahun
dan kini ia duduk di bangku kelas 4 di salah satu SD negeri di Samarinda. Arul
merupakan salah satu korban dari Broken
Home, sebelum dilahirkan ke dunia ini orang tua Arul telah bercerai. Namun
hal ini tidak mengurangi kasih sayang yang ia dapatkan. Meskipun tanpa
kehadiran seorang ayah di masa-masa awal pertumbuhannya, akantetapi Arul
memperoleh perhatian kasih sayang yang cukup dati ibu, kakek nenek dan paman
serta bibinya. Setelah orang tuanya bercerai, ibu Arul kembali tinggal bersama
orang tuanya (kakek dan nenek Arul) beserta saudara-saudaranya yang lain.
Kehadirannya Arul di tengah-tengah
keluarga besarnya itu disambut bahagia terlebih oleh kakek dan neneknya yang
telah lama menginginkan seorang cucu. Hal yang sama pun dirasakan oleh
paman-paman dan bibi-bibinya. Arul telah dianggap seperti anak sendiri bagi
mereka. Maklum saja, Arul adalah keponakan pertama di keluarga itu. Arul
bagaikan sebuah alunan musik di tengah keluarganya yang memberikan semangat dan
warna baru bagi kehidupan keluarganya. Keceriaan dan canda tawa menjadi semacam
rutinitas dalam keluarga ini semenjak kelahiran bayi yang lahir di awal tahun
2001 ini.
Meskipun terlahir dari orang tua broken home, namun hal tersebut sedikitpun
tidak banyak memberikan berpengaruh buruk bagi awal-awal kehidupannya, wajar
saja karena ia memang belum mengerti apa-apa tentang kondisi tersebut. Bahkan
hingga seumur sekarang pun ia belum begitu peduli dengan kondisi hubungan kedua
orang tuanya. Hal ini terbukti dengan tidak pernahnya ia mempertanyakan perihal
mengapa kedua orang tuanya hidup terpisah. Berbeda dengan orang tua dari
teman-teman sebayanya. Kehadiran kakek nenek, paman dan bibinya yang disertai
dengan perhatian dan kasih sayang yang dirasakannya dari mereka seolah-olah
dirasa cukup baginya. Arul tak banyak menuntut akan perkara satu itu.
B.
Rumusan
Masalah
Lantas, bagaimana kondisi ini
mempengaruhi perkembangan psikisnya? Karena meskipun ia terlihat baik-baik
saja, “kepincangan” yang terjadi dalam hidupnya (tanpa ayah) sedikit banyak pasti
akan memberi efek yang mungkin memang belum terlihat nyata, tapi lambat laun
akan muncul juga. Dan, bagaimana pula pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa
keberagamannya?
III. PEMBAHASAN
A.
Perkembangan
Psikis Anak
Hidup di tengah keluarga broken home bukanlah perkara mengenakkan, terlebih hal
tersebut telah terjadi sebelum seorang anak dilahirkan. Ketika ia lahir dan
mulai mengerti tentang beberapa hal, ia “dipaksa” menerima dan menyesuaikan
dirinya baik secara perasaan maupun pikirannya akan kondisi tersebut. Sulit
untuk menolak bahkan menghindar. Hal ini semakin berat dikarenakan anak-anak
pada umumnya tidak tahu, tidak mau tahu, dan memang belum memahami hal ini.
Mereka akan merasakan kejanggalan dalam hidupnya. Berbeda dari teman-teman sebayanya,
dimana teman-temannya asik bersenda gurau dengan kedua orang tuanya,
berjalan-jalan dan berfoto bersama. Hal ini menjadi tanda tanya besar di
benaknya. Mengapa daku berbeda?
Anak laki-laki dan anak perempuan pada
umumnya memilki perbedaan cara menanggapi persoalan ini. Anak laki-laki
biasanya lebih logis, ia akan bersikap cuek selama ia merasa nyaman dan
terpenuhi kebutuhannya. Sedangkan anak perempuan sedikit lebih perasa, mereka
lebih banyak menuntut perhatian dan kasih sayang ketimbang anak laki-laki.
Sehingga mereka cenderung lebih peka dalam situasi seperti ini.
Keadaan yang membuatnya berbeda tersebut
kadangkala juga diperparah dengan sikap ingin tahu teman-temannya. “mengapa
ayahmu tidak datang?” atau “mamamu kok sendirian?”, pertanyaan-pertanyaan polos
seperti itu bisa saja terlontar dari mulut mereka. Di zaman sekarang ini,
anak-anak mulai kritis, bahkan anak-anak yang baru berusia di bawah 12 tahun
begitu ingin tahu hal-hal yang belum semestinya mereka ketahui. Ketika si anak
ini disodorkan pertanyaan demikian oleh temannya, maka setidaknya akan ada tiga
reaksi yang muncul. Pertama, menanggapi secara positif, mereka akan menjawab
dengan polos dengan berkata,” aku gak tahu” atau ”ayahku lagi kerja”. Kedua,
menanggapi secara negatif, “gak usah tanya-tanya!” atau “biarin…..!”. dan yang
ketiga, mungkin mereka hanya akan terdiam sambil memendam rasa sedih dan
kecewa.
Setiap jawaban-jawaban tersebut pasti
akan berimplikasi yang berbeda pula terhadap dirinya. Mereka akan berbalik
mempertanyakan pertanyaan yang sama kepada ibunya atau kakek dan neneknya yang
lebih dekat dengannya. Pada saat inilah diharapkan orang tua dapat memberikan
pemahaman yang baik dan benar terhadapnya. Jawaban yang baik dan benar haruslah
mempertimbangkan sisi psikologis si anak tersebut, dan harus juga disampaikan
dengan cara yang dapat dipahami dan sesuai dengan kemampuannya menangkap
penjelasan tersebut.
Jika hal ini tidak segera diatasi maka
anak ini akan mengalami masalah pada perkembangan psikisnya. Mereka akan
menjadi lebih tertutup, minder, tidak percaya diri, apatis hingga paranoid. Seperti
apa yang dialami anak yang telah disebutkan di atas, Arul. Sebagai anak lelaki,
neruntung masalah minusnya rasa percaya diri tidak sempat menghindarinya,
akantetapi masalah baru muncul berkenan dengan kemampuan daya tanggap terhadap
proses pembelajaran baik di sekolah terlebih di rumah. Sehingga meskipun telah duduk di bangku kelas
4, Arul belum juga bisa membaca. Kesulitan dalam membaca ini disebut juga
dengan disleksia.
Yah, meskipun tidak ada korelasi secara
langsung antara masalah disleksia dengan broken
home, karena disleksia kebanyakan memang disebabkan oleh factor bawaan si
anak sendiri. Tapi jangan salah, karena sebenarnya disleksia juga terkadang
disebabkan oleh kondisi psikis anak yang terganggu oleh beratnya kondisi
lingkungan di sekitarnya. Ketidakhadiran salah satu orang tua di sisi mereka
juga cukup memberikan kontribusi negative terbentuknya masalah disleksia pada
anak.
Seperti pada kasus Arul, sosok ayah
harusnya ada untuk mendukungnya secara moril dan sebagai gurunya di rumah yang
dapat membantunya belajar atau sekedar mengerjakan tugas pekerjaan rumah.
Walaupun posisi ayah dapat digantikan oleh kakek dan neneknya, tetapi itu hanya
sebagai ikon saja. Atau mungkin kakek dan nenek bisa memberikan kasih sayang
yang bahkan lebih besar dibanding ayahnya, tetapi bagaimanapun juga ada semacam
hubungan yang memiliki chemistry antara
ayah dan anak yang tidak sama dengan kakek dan cucunya bahkan antara ibu dan
anaknya. Jadi intinya, apapun alasannya konflik antara ayah dan ibu, anaklah
yang akan merasakan efek negatifnya.
Tentunya siapapun tidak menginginkan hal
ini terjadi dan berdampak buruk bagi anak. Bagaimanapun sisi psikologi seorang
anak itu sangat rapuh. Mereka belum memiliki semacam filterisasi untuk memilah
dan memilih mana yang harus dipikirkannya dan mana yang sebaiknya diacuhkannya.
Mereka belum cukup mampu menganalisa tiap permasalahan yang terjadi, mencerna
dan menerjemahkan hingga dapat memahaminya.
Di sini, peran orang tua mutlak dibutuhkan untuk dapat memasuki ranah
berpikirnya, memberikan pengetahuan dan pengertian tentang masalah yang dihadapinya.
Memberikan pemahaman dan solusi yang terbaik bagi penyelesaian masalahnya. Dan
pastinya dengan cara yang dapat ia pahami, bukan yang dapat membuatnya semakin
bingung.
B.
Perkembangan
Jiwa Keberagaman Anak
Setelah membahas dampak negatif dari broken home, hal lain yang dapat
terganggu akibat perpecahan kedua orang tua ini adalah perkembangan jiwa
keberagamaan pada anak. Perkembangan jiwa keberagaman pada anak tidaklah
seperti pada orang dewasa, yang dapat memilih dan menentukan sendiri apa yang
ingin diyakininya dan apa yang ingin dan tidak ingin dilakukannya. Taat atau
tidak taat. Orang dewasa dapat belajar agama sendiri, memahami keberadaan Tuhan
dengan segala kebesaranNya.
Pada anak biasanya hanya melihat orang dewasa
disekelilingnya. Melihat dan menru apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka
ucapkan tatkala berinteraksi dengan Tuhan (berdoa). Seorang anak belum dapat
memahami ajaran Islam. Pada saat inilah peran orang tua sangat diperlukan,
bukan saja orang tua tapi juga orang-orang dewasa di sekitarnya.
Peran orang tua dapat berupa pemahaman secara verbal
tentang siapa Tuhan, keberadaanNya dan hal-hal sederhana lain yang berkaitan
denganNya. Pelajaran tauhid adalah hal
yang pertama dan utama yang mula-mula harus mereka pahami, tetapi yang mesti
diingat adalah pola pikir mereka belumlah sesempurna orang dewasa. Jadi,
berilah pemahamn dengan bahasa yang dapat mereka pahami dan sesuai dengan
usianya. Jangan pernah memaksakan anak-anak untuk mengerti dan memaklumi suatu
hal, orang tualah yang mestinya maklum.
Seorang anak yang hidup tanpa adanya ayah atau ibu
di sisinya akan merasakan satu perbedaan. Seperti contohnya yang terjadi pada
Arul. Meskipun ada ibu, kakek, nenek, bibi dan pamannya, akantetapi tetap saja
posisi ayah tak tergantikan. Seorang ayah yang seharusnya menjadi panutan,
teladan dan pembimbing bagi anaknya justru tidak ada di sana. Cara pandang
seorang anak terhadap ayah, ibu, kakek-nenek, paman dan bibinya saling berbeda
satu sama lain. Terhadap ayah dan ibunya mereka merasa keterikatan yang kuat
dan rasa memilki yang tidak ia rasakan kepada orang lain.
Dukungan lain yang paling efektif yang harus dilakukan
orang tua adalah memberikan suritauladan kepada anak-anak mereka. Pada umumnya
anak-anak lebih suka meniru tingkah laku orang-orang di sekitarnya ketimbang
menuruti perintah yang diberikan kepadanya, terlebih jika itu bertentangan
dengan dirinya (tidak suka). Membiasakan anak shalat berjamaah di rumah ataupun
dimasjid adalah cara yang cukup ampuh untuk mendidik anak menyenangi shalat.
Tapi yang harus dihindari adalah memaksa anak untuk shalat. Anak biasanya
enggan shalat berjamaah jika mereka tengah asyik bermain atau menonton. Dunia
anak adalah dunia bermain dan bersenang-senang. Jadi, usahakan untuk membiasakan anak menghindari kegiatan
bermain dan menonton di sekitar waktu-waktu shalat lima waktu. Mengarahkan anak
dengan mengatur jadwalnya secara tak tertulis dapat mengajarkan anak untuk
disiplin. Namun, jangan terlalu monoton dan kaku karena akan menimbulkan kesan
mengkotak-kotakkan hidup mereka. Anak-anak bukanlah robot yang dapat kita
gerakkan semau kita.
Yang terjadi pada Arul tidak jauh berbeda dengan
penjelasan di atas. Sebagaimana anak lelaki seumuran dengannya pada umumnya,
Arul adalah anak yang aktif terutam di luar rumah. Hampir sebagian besar
waktunya dihabiskan di luar rumah tidak termasuk sekolah. Bermain sepertinya
menjadi hal terpenting yang ada dalam kamusnya. Terlebih saat libur sekolah,
Arul bisa menghabiskan 12 jam waktunya di luar rumah bermain bersama
teman-temannya.
Ini menjadi kendala tersendiri bagi keluarganya. Hal
ini telah berlangsung lama. Padahal waktu berinteraksi dengan anak menjadi
salah satu modal dalam membangun komunikasi yang baik dan sehat dengan anak
sebagai jembatan dalam “menyusupkan” pendidikan agama dalam dirinya. Cara yang
baik untuk mengatasi hal ini bisa dengan mengalihkan anak tersebut dengan permainan yang dapat ia
lakukan di rumah. Sehingga dengan begitu akan banyak waktu untuk berinteraksi
dengannya.
Memang bukanlah perkara mudah untuk mengubah
kebiasaan seseorang, apalagi untuk seorang anak. Diperlukan usaha ekstra untuk
mengalihkan perhatian dan kegemarannya. Jadi yang terpenting di sini adalah
berusaha tetap membuat anak merasa nyaman dengan apa yang kita usahakan
kepadanya, agar anak dapat memberikan respon positif terhadap usaha kita.
IV. PENUTUP
Apakah
dalam kondisi seperti yang disebutkan di atas kita lantas berpasrah diri akan
keadaan dan menganggap kekurangan itu sebagai hambatan yang membuat kita stagnant dan berhenti berusaha untuk
membantu anak dalam menapaki perkebangannya? Tentu saja jawabannya, Tidak!
Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hambaNya melebihi batas kemampuannya.
Setiap ada permasalahan pasti ada pemecahannya. Itulah yang mesti dilakukan
orang tua. Tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk buah hatinya dengan
diiringi doa kepada Sang Khaliq Yang Maha Mengetahui yang terbaik bagi umatnya.
Anak adalah titipan atau amanah dari Allah SWT untuk dijaga, dirawat,
dinafkahi, dididik agar kelak menjadi sesosok insan yang berguna bagi dirinya,
keluarganya, masyarakat, bangsa, dan negara serta agama.
Jalaluddin Rakhmat , Psikologi Agama sebuah pengatar, Mizan
2004
Dr. Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, penerbit Kanisius, hal 9
Prof Dr. H. Ramayulis, Psikologi Agama , Kalam Mulia 2004
Aliah B. Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
http://ruangpsikologi.com/mengajar-membaca-anak-disleksia
Dr. Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, penerbit Kanisius, hal 9
Prof Dr. H. Ramayulis, Psikologi Agama , Kalam Mulia 2004
Aliah B. Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
http://ruangpsikologi.com/mengajar-membaca-anak-disleksia
No comments:
Post a Comment
Leave a comment, please.......:)