Thursday, January 16, 2014

Contoh Makalah Pendidikan tentang Pengaruh Buruk Broken Home



I.    JUDUL
PENGARUH BURUK BROKEN HOME TERHADAP PERKEMBANGAN PSIKIS DAN JIWA KEBERAGAMAN PADA ANAK USIA DINI

II.    PENDAHULUAN
            A.     Latar Belakang Masalah
Seorang anak di Samarinda, sebut saja Arul (bukan nama sebenarnya) mengalami sebuah masalah yang cukup kompleks mengenai perkembangannya, baik itu yang berkenaan dengan perkembangan kemampuannya menangkap pelajaran di sekolah, maupun yang berhubungan dengan perkembangan jiwa keberagamaannya.
Arul kini telah berumur hampir 10 tahun dan kini ia duduk di bangku kelas 4 di salah satu SD negeri di Samarinda. Arul merupakan salah satu korban dari Broken Home, sebelum dilahirkan ke dunia ini orang tua Arul telah bercerai. Namun hal ini tidak mengurangi kasih sayang yang ia dapatkan. Meskipun tanpa kehadiran seorang ayah di masa-masa awal pertumbuhannya, akantetapi Arul memperoleh perhatian kasih sayang yang cukup dati ibu, kakek nenek dan paman serta bibinya. Setelah orang tuanya bercerai, ibu Arul kembali tinggal bersama orang tuanya (kakek dan nenek Arul) beserta saudara-saudaranya yang lain.
Kehadirannya Arul di tengah-tengah keluarga besarnya itu disambut bahagia terlebih oleh kakek dan neneknya yang telah lama menginginkan seorang cucu. Hal yang sama pun dirasakan oleh paman-paman dan bibi-bibinya. Arul telah dianggap seperti anak sendiri bagi mereka. Maklum saja, Arul adalah keponakan pertama di keluarga itu. Arul bagaikan sebuah alunan musik di tengah keluarganya yang memberikan semangat dan warna baru bagi kehidupan keluarganya. Keceriaan dan canda tawa menjadi semacam rutinitas dalam keluarga ini semenjak kelahiran bayi yang lahir di awal tahun 2001 ini.
Meskipun terlahir dari orang tua broken home, namun hal tersebut sedikitpun tidak banyak memberikan berpengaruh buruk bagi awal-awal kehidupannya, wajar saja karena ia memang belum mengerti apa-apa tentang kondisi tersebut. Bahkan hingga seumur sekarang pun ia belum begitu peduli dengan kondisi hubungan kedua orang tuanya. Hal ini terbukti dengan tidak pernahnya ia mempertanyakan perihal mengapa kedua orang tuanya hidup terpisah. Berbeda dengan orang tua dari teman-teman sebayanya. Kehadiran kakek nenek, paman dan bibinya yang disertai dengan perhatian dan kasih sayang yang dirasakannya dari mereka seolah-olah dirasa cukup baginya. Arul tak banyak menuntut akan perkara satu itu.    
           B.     Rumusan Masalah
Lantas, bagaimana kondisi ini mempengaruhi perkembangan psikisnya? Karena meskipun ia terlihat baik-baik saja, “kepincangan” yang terjadi dalam hidupnya (tanpa ayah) sedikit banyak pasti akan memberi efek yang mungkin memang belum terlihat nyata, tapi lambat laun akan muncul juga. Dan, bagaimana pula pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keberagamannya?

III. PEMBAHASAN
            A.    Perkembangan Psikis Anak
Hidup di tengah keluarga broken home  bukanlah perkara mengenakkan, terlebih hal tersebut telah terjadi sebelum seorang anak dilahirkan. Ketika ia lahir dan mulai mengerti tentang beberapa hal, ia “dipaksa” menerima dan menyesuaikan dirinya baik secara perasaan maupun pikirannya akan kondisi tersebut. Sulit untuk menolak bahkan menghindar. Hal ini semakin berat dikarenakan anak-anak pada umumnya tidak tahu, tidak mau tahu, dan memang belum memahami hal ini. Mereka akan merasakan kejanggalan dalam hidupnya. Berbeda dari teman-teman sebayanya, dimana teman-temannya asik bersenda gurau dengan kedua orang tuanya, berjalan-jalan dan berfoto bersama. Hal ini menjadi tanda tanya besar di benaknya. Mengapa daku berbeda?
Anak laki-laki dan anak perempuan pada umumnya memilki perbedaan cara menanggapi persoalan ini. Anak laki-laki biasanya lebih logis, ia akan bersikap cuek selama ia merasa nyaman dan terpenuhi kebutuhannya. Sedangkan anak perempuan sedikit lebih perasa, mereka lebih banyak menuntut perhatian dan kasih sayang ketimbang anak laki-laki. Sehingga mereka cenderung lebih peka dalam situasi seperti ini.
Keadaan yang membuatnya berbeda tersebut kadangkala juga diperparah dengan sikap ingin tahu teman-temannya. “mengapa ayahmu tidak datang?” atau “mamamu kok sendirian?”, pertanyaan-pertanyaan polos seperti itu bisa saja terlontar dari mulut mereka. Di zaman sekarang ini, anak-anak mulai kritis, bahkan anak-anak yang baru berusia di bawah 12 tahun begitu ingin tahu hal-hal yang belum semestinya mereka ketahui. Ketika si anak ini disodorkan pertanyaan demikian oleh temannya, maka setidaknya akan ada tiga reaksi yang muncul. Pertama, menanggapi secara positif, mereka akan menjawab dengan polos dengan berkata,” aku gak tahu” atau ”ayahku lagi kerja”. Kedua, menanggapi secara negatif, “gak usah tanya-tanya!” atau “biarin…..!”. dan yang ketiga, mungkin mereka hanya akan terdiam sambil memendam rasa sedih dan kecewa.
Setiap jawaban-jawaban tersebut pasti akan berimplikasi yang berbeda pula terhadap dirinya. Mereka akan berbalik mempertanyakan pertanyaan yang sama kepada ibunya atau kakek dan neneknya yang lebih dekat dengannya. Pada saat inilah diharapkan orang tua dapat memberikan pemahaman yang baik dan benar terhadapnya. Jawaban yang baik dan benar haruslah mempertimbangkan sisi psikologis si anak tersebut, dan harus juga disampaikan dengan cara yang dapat dipahami dan sesuai dengan kemampuannya menangkap penjelasan tersebut.
Jika hal ini tidak segera diatasi maka anak ini akan mengalami masalah pada perkembangan psikisnya. Mereka akan menjadi lebih tertutup, minder, tidak percaya diri, apatis hingga paranoid. Seperti apa yang dialami anak yang telah disebutkan di atas, Arul. Sebagai anak lelaki, neruntung masalah minusnya rasa percaya diri tidak sempat menghindarinya, akantetapi masalah baru muncul berkenan dengan kemampuan daya tanggap terhadap proses pembelajaran baik di sekolah terlebih di rumah.  Sehingga meskipun telah duduk di bangku kelas 4, Arul belum juga bisa membaca. Kesulitan dalam membaca ini disebut juga dengan disleksia.
Yah, meskipun tidak ada korelasi secara langsung antara masalah disleksia dengan broken home, karena disleksia kebanyakan memang disebabkan oleh factor bawaan si anak sendiri. Tapi jangan salah, karena sebenarnya disleksia juga terkadang disebabkan oleh kondisi psikis anak yang terganggu oleh beratnya kondisi lingkungan di sekitarnya. Ketidakhadiran salah satu orang tua di sisi mereka juga cukup memberikan kontribusi negative terbentuknya masalah disleksia pada anak.
Seperti pada kasus Arul, sosok ayah harusnya ada untuk mendukungnya secara moril dan sebagai gurunya di rumah yang dapat membantunya belajar atau sekedar mengerjakan tugas pekerjaan rumah. Walaupun posisi ayah dapat digantikan oleh kakek dan neneknya, tetapi itu hanya sebagai ikon saja. Atau mungkin kakek dan nenek bisa memberikan kasih sayang yang bahkan lebih besar dibanding ayahnya, tetapi bagaimanapun juga ada semacam hubungan yang memiliki chemistry antara ayah dan anak yang tidak sama dengan kakek dan cucunya bahkan antara ibu dan anaknya. Jadi intinya, apapun alasannya konflik antara ayah dan ibu, anaklah yang akan merasakan efek negatifnya.
Tentunya siapapun tidak menginginkan hal ini terjadi dan berdampak buruk bagi anak. Bagaimanapun sisi psikologi seorang anak itu sangat rapuh. Mereka belum memiliki semacam filterisasi untuk memilah dan memilih mana yang harus dipikirkannya dan mana yang sebaiknya diacuhkannya. Mereka belum cukup mampu menganalisa tiap permasalahan yang terjadi, mencerna dan menerjemahkan hingga dapat memahaminya.  Di sini, peran orang tua mutlak dibutuhkan untuk dapat memasuki ranah berpikirnya, memberikan pengetahuan dan pengertian tentang masalah yang dihadapinya. Memberikan pemahaman dan solusi yang terbaik bagi penyelesaian masalahnya. Dan pastinya dengan cara yang dapat ia pahami, bukan yang dapat membuatnya semakin bingung.
   B.     Perkembangan Jiwa Keberagaman Anak
Setelah membahas dampak negatif dari broken home, hal lain yang dapat terganggu akibat perpecahan kedua orang tua ini adalah perkembangan jiwa keberagamaan pada anak. Perkembangan jiwa keberagaman pada anak tidaklah seperti pada orang dewasa, yang dapat memilih dan menentukan sendiri apa yang ingin diyakininya dan apa yang ingin dan tidak ingin dilakukannya. Taat atau tidak taat. Orang dewasa dapat belajar agama sendiri, memahami keberadaan Tuhan dengan segala kebesaranNya.
Pada anak biasanya hanya melihat orang dewasa disekelilingnya. Melihat dan menru apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka ucapkan tatkala berinteraksi dengan Tuhan (berdoa). Seorang anak belum dapat memahami ajaran Islam. Pada saat inilah peran orang tua sangat diperlukan, bukan saja orang tua tapi juga orang-orang dewasa di sekitarnya.
Peran orang tua dapat berupa pemahaman secara verbal tentang siapa Tuhan, keberadaanNya dan hal-hal sederhana lain yang berkaitan denganNya.  Pelajaran tauhid adalah hal yang pertama dan utama yang mula-mula harus mereka pahami, tetapi yang mesti diingat adalah pola pikir mereka belumlah sesempurna orang dewasa. Jadi, berilah pemahamn dengan bahasa yang dapat mereka pahami dan sesuai dengan usianya. Jangan pernah memaksakan anak-anak untuk mengerti dan memaklumi suatu hal, orang tualah yang mestinya maklum.
Seorang anak yang hidup tanpa adanya ayah atau ibu di sisinya akan merasakan satu perbedaan. Seperti contohnya yang terjadi pada Arul. Meskipun ada ibu, kakek, nenek, bibi dan pamannya, akantetapi tetap saja posisi ayah tak tergantikan. Seorang ayah yang seharusnya menjadi panutan, teladan dan pembimbing bagi anaknya justru tidak ada di sana. Cara pandang seorang anak terhadap ayah, ibu, kakek-nenek, paman dan bibinya saling berbeda satu sama lain. Terhadap ayah dan ibunya mereka merasa keterikatan yang kuat dan rasa memilki yang tidak ia rasakan kepada orang lain.
Dukungan lain yang paling efektif yang harus dilakukan orang tua adalah memberikan suritauladan kepada anak-anak mereka. Pada umumnya anak-anak lebih suka meniru tingkah laku orang-orang di sekitarnya ketimbang menuruti perintah yang diberikan kepadanya, terlebih jika itu bertentangan dengan dirinya (tidak suka). Membiasakan anak shalat berjamaah di rumah ataupun dimasjid adalah cara yang cukup ampuh untuk mendidik anak menyenangi shalat. Tapi yang harus dihindari adalah memaksa anak untuk shalat. Anak biasanya enggan shalat berjamaah jika mereka tengah asyik bermain atau menonton. Dunia anak adalah dunia bermain dan bersenang-senang. Jadi, usahakan  untuk membiasakan anak menghindari kegiatan bermain dan menonton di sekitar waktu-waktu shalat lima waktu. Mengarahkan anak dengan mengatur jadwalnya secara tak tertulis dapat mengajarkan anak untuk disiplin. Namun, jangan terlalu monoton dan kaku karena akan menimbulkan kesan mengkotak-kotakkan hidup mereka. Anak-anak bukanlah robot yang dapat kita gerakkan semau kita.
Yang terjadi pada Arul tidak jauh berbeda dengan penjelasan di atas. Sebagaimana anak lelaki seumuran dengannya pada umumnya, Arul adalah anak yang aktif terutam di luar rumah. Hampir sebagian besar waktunya dihabiskan di luar rumah tidak termasuk sekolah. Bermain sepertinya menjadi hal terpenting yang ada dalam kamusnya. Terlebih saat libur sekolah, Arul bisa menghabiskan 12 jam waktunya di luar rumah bermain bersama teman-temannya.
Ini menjadi kendala tersendiri bagi keluarganya. Hal ini telah berlangsung lama. Padahal waktu berinteraksi dengan anak menjadi salah satu modal dalam membangun komunikasi yang baik dan sehat dengan anak sebagai jembatan dalam “menyusupkan” pendidikan agama dalam dirinya. Cara yang baik untuk mengatasi hal ini bisa dengan mengalihkan  anak tersebut dengan permainan yang dapat ia lakukan di rumah. Sehingga dengan begitu akan banyak waktu untuk berinteraksi dengannya.
Memang bukanlah perkara mudah untuk mengubah kebiasaan seseorang, apalagi untuk seorang anak. Diperlukan usaha ekstra untuk mengalihkan perhatian dan kegemarannya. Jadi yang terpenting di sini adalah berusaha tetap membuat anak merasa nyaman dengan apa yang kita usahakan kepadanya, agar anak dapat memberikan respon positif terhadap usaha kita.


IV. PENUTUP
Apakah dalam kondisi seperti yang disebutkan di atas kita lantas berpasrah diri akan keadaan dan menganggap kekurangan itu sebagai hambatan yang membuat kita stagnant dan berhenti berusaha untuk membantu anak dalam menapaki perkebangannya? Tentu saja jawabannya, Tidak! Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hambaNya melebihi batas kemampuannya. Setiap ada permasalahan pasti ada pemecahannya. Itulah yang mesti dilakukan orang tua. Tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk buah hatinya dengan diiringi doa kepada Sang Khaliq Yang Maha Mengetahui yang terbaik bagi umatnya. Anak adalah titipan atau amanah dari Allah SWT untuk dijaga, dirawat, dinafkahi, dididik agar kelak menjadi sesosok insan yang berguna bagi dirinya, keluarganya, masyarakat, bangsa, dan negara serta agama.

 DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin Rakhmat , Psikologi Agama sebuah pengatar, Mizan 2004
Dr. Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, penerbit Kanisius, hal 9
Prof Dr. H. Ramayulis, Psikologi Agama , Kalam Mulia 2004
Aliah B. Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
http://ruangpsikologi.com/mengajar-membaca-anak-disleksia

No comments:

Post a Comment

Leave a comment, please.......:)

Wahai Diriku....

Dzikir inilah yang setiap hari paling sering kita lafadzkan....

Suamiku....suamiku
Istriku.......istriku
Anakku......anakku
Hartaku.....hartaku
Pangkatku...pangkatku

Lalu mana....
Allah-ku......Allah-ku
Selamatkan aku...Selamatkanlah aku
Ampuni aku......Ampunilah aku


uje - - - huruf kecil saja