BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Tiap bulan September diperingati
sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan. Melalui peingatan
itu diharapkan masyarakat menjadi gemar membaca, khususnya anak-anak Sekolah
Dasar (SD); sebab membaca adalah kunci untuk keberhasilan belajar siswa di
sekolah. Kemampuan membaca dan minat membaca yang tinggi adalah modal dasar
untuk keberhasilan anak dalam berbagai mata pelajaran.
Sejak tahun 1995 sampai sekarang, media massa
selalu memuat berita mengenai minat membaca masyarakat, terutama minat membaca
anak-anak SD. Misal harian Suara Merdeka menulis tajuk rencana dengan judul
Kegemaran Membaca Belum Seperti Yang Diharapkan (Suara Merdeka, 1995). Kompas
memuat artikel Rumah Baca, Upaya Menumbuhkan Minat Baca (Kompas, 1995) dan
Pikiran Rakyat (2000) melalui tulisan Wakidi yang berjudul Minat Membaca Anak
Sekolah Dasar juga ikut prihatin dengan minat membaca anak SD yang rendah.
Media elektronik seperti televisi juga ikut menayangkan iklan layanan masyarakat
untuk meningkatkan minat membaca.
Tulisan di surat kabar dan tayangan iklan
layanan masyarakat di televisi pada intinya menyuarakan kepihatinan terhadap
minat membaca anak-anak yang masih rendah. Padahal masalah minat membaca
merupakan persoalan yang penting dalam dunia pendidikan. Anak-anak SD yang
memiliki minat membaca tinggi akan berprestasi tinggi di sekolah, sebaliknya
anak-anak SD yang memiliki minat membaca rendah, akan rendah pula prestasi
belajarnya (Wigfield dan Guthrie, 1997).
Hampir
tiap tahun orang tua diingatkan untuk menanamkan dan menumbuhkan minat membaca
anak melalui media massa, namun keluhan bahwa minat membaca anak tetap rendah
masih selalu terdengar. Nampaknya belum ditemukan cara yang efektif untuk
melibatkan orang tua dalam menolong meningkatkan minat membaca. Belum banyak
diteliti mengenai faktor-faktor yang menentukan bagaimana cara melibatkan orang
tua untuk meningkatkan minat membaca anak. Pemahaman terhadap faktor-faktor
tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan intervensi yang efektif untuk
meningkatkan keterlibatan orang tua dalam menumbuhkan minat membaca anak di
keluarga masing-masing.
Kesulitan
untuk melibatkan orang tua menjadi makin bertambah pada keluarga dengan sosial
ekonomi rendah. Krisis ekonomi, bencana alam dan kerusuhan di beberapa daerah
di Indonesia menambah jumlah keluarga miskin sehingga mereka tersisih dari
kehidupan kota dan tinggal di kantong-kantong kemiskinan. Mereka sering
mengalami pertengkaran dalam masalah keuangan keluarga sehingga mengalami stres
tiap hari. Stres ini makin bertambah tinggi oleh stres kerja, tinggal di daerah
kumuh, panas, bising dan sesak, persoalan kegagalan pendidikan anak dan laju
kelahiran anak yang sulit dikendalikan.
Tumpukan
stres ini menyita dan membuang energi orang tua untuk hal yang negatif dan
perhatian mereka tidak terpusat untuk terlibat menolong anak dalam membaca
sehingga minat membaca anak tidak tumbuh dan berkembang. Berdasarkan
permasalahan tersebut, maka secara berurutan akan dibahas mengenai minat
membaca anak, pendekatan stres lingkungan dan yang terakhir pengaruh
keterlibatan orang tua terhadap minat membaca anak ditinjau dari pendekatan
stres lingkungan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana cara menumbuhkan minat
membaca anak?
2. Bagaimana melakukan pendekatan
stress lingkungan?
3. Bagaimana pengaruh keterlibatan
orang tua terhadap minat membaca anak ditinjau daripendekatan stress lingkungan
BAB II
MINAT MEMBACA
MINAT MEMBACA
A.
Minat
Membaca Anak
Aktivitas
membaca akan dilakukan oleh anak atau tidak sangat ditentukan oleh minat anak
terhadap aktivitas tersebut. Di sini nampak bahwa minat merupakan motivator
yang kuat untuk melakukan suatu aktivitas.
Secara umum minat dapat diartikan sebagai
suatu kecenderungan yang menyebabkan seseorang berusaha untuk mencari ataupun
mencoba aktivitas-aktivitas dalam bidang tertentu. Minat juga diartikan sebagai
sikap positif anak terhadap aspek-aspek lingkungan. Ada juga yang mengartikan
minat sebagai kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan menikmati suatu
aktivitas disertai dengan rasa senang.
Meichati (1972) mengartikan minat adalah
perhatian yang kuat, intensif dan menguasai individu secara mendalam untuk tekun
melalukan suatu aktivitas. Aspek minat terdiri dari aspek kognitif dan aspek
afektif. Aspek kognitif berupa konsep positif terhadap suatu obyek dan berpusat
pada manfaat dari obyek tersebut. Aspek afektif nampak dalam rasa suka atau
tidak senang dan kepuasan pribadi terhadap obyek tersebut.
Membaca
adalah proses untuk memperoleh pengertian dari kombinasi beberapa huruf dan
kata. Juel (1988) mengartikan bahwa membaca adalah proses untuk mengenal kata
dan memadukan arti kata dalam kalimat dan struktur bacaan. Hasil akhir dari
proses membaca adalah seseorang mampu membuat intisari dari bacaan.
Secara
operasional Lilawati (1988) mengartikan minat membaca anak adalah suatu
perhatian yang kuat dan mendalam disertai dengan perasaan senang terhadap
kegiatan membaca sehingga mengarahkan anak untuk membaca dengan kemauannya sendiri.
Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca, kesadaran akan manfaat
membaca, frekuensi membaca dan jumlah buku bacaan yang pernah dibaca oleh anak.
Sinambela (1993) mengartikan minat membaca adalah sikap positif dan adanya rasa
keterikatan dalam diri anak terhadap aktivitas membaca dan tertarik terhadap
buku bacaan. Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca, frekuensi membaca
dan kesadaran akan manfaat membaca.
Berdasar
pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa minat membaca adalah
kekuatan yang mendorong anak untuk memperhatikan, merasa tertarik dan senang
terhadap aktivitas membaca sehingga mereka mau melakukan aktivitas membaca
dengan kemauan sendiri. Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca,
frekuensi membaca dan kesadaran akan manfaat membaca.
Minat
membaca perlu ditanamkan dan ditumbuhkan sejak anak masih kecil sebab minat
membaca pada anak tidak akan terbentuk dengan sendirinya, tetapi sangat
dipengaruhi oleh stimulasi yang diperoleh dari lingkungan anak. Keluarga merupakan
lingkungan paling awal dan dominan dalam menanamkan, menumbuhkan dan membina
minat membaca anak. Orang tua perlu menanamkan kesadaran akan pentingnya
membaca dalam kehidupan anak, setelah itu baru guru di sekolah, teman sebaya
dan masyarakat.
Mulyani
(1978) berpendapat bahwa tingkat perkembangan seseorang yang paling
menguntungkan untuk pengembangan minat membaca adalah pada masa peka, yaitu
sekitar usia 5 s/d 6 tahun. Kemudian minat membaca ini akan berkembang sampai
dengan masa remaja.
Minat membaca
pertama kali harus ditanamkan melalui pendidikan dan kebiasaan keluarga pada
masa peka tersebut. Anak usia 5 s/d 6 tahun senang sekali mendengarkan cerita.
Mula-mula mereka tertarik bukan pada isi ceritanya, tetapi pada kenikmatan yang
diperoleh dalam kedekatannya dengan orang tua. Ketika duduk bersama atau duduk
di pangkuan orang tua, anak merasakan adanya kasih sayang dan kelembutan.
Suasana yang menyenangkan dan didukung oleh buku cerita yang penuh
gambar-gambar indah akan membuat anak menjadi tertarik dan senang menikmati
cerita dari buku.
Melalui
proses imitasi, anak akan suka menirukan aktivitas membacakan cerita yang
dilakukan oleh orang tuanya. Peniruan ini akan semakin diulang bila anak juga
sering melihat orang tua melakukan aktivitas membaca. Anak akan meniru gaya dan
tingkah laku orang tua dalam membaca. Kemudian setelah anak mampu membaca
sendiri, maka ia akan senang sekali mempraktekkan kemampuan membacanya dengan
membaca sendiri buku-buku yang tersedia di rumah. Kemauan untuk membaca buku
atas inisiatif diri sendiri ini adalah awal tumbuhnya minat membaca anak.
Perkembangan selanjutnya dari minat membaca ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor.
Ada dua
kelompok besar faktor yang mempengaruhi minat membaca anak, yaitu faktor
personal dan faktor institusional (Purves dan Beach, dalam Harris dan Sipay,
1980). Faktor personal adalah faktor-faktor yang ada dalam diri anak, yaitu
meliputi usia, jenis kelamin, inteligensi, kemampuan membaca, sikap dan
kebutuhan psikologis. Sedangkan faktor institusional adalah faktor-faktor di
luar diri anak, yaitu meliputi ketersediaan jumlah buku-buku bacaan dan
jenis-jenis bukunya, status sosial ekonomi orang tua dan latar belakang etnis,
kemudian pengaruh orang tua, guru dan teman sebaya anak.
Ada
perbedaan minat anak terhadap buku bila ditinjau dari usia kronologis anak.
Ediasari (Ayahbunda, 1983) berpendapat bahwa pada usia antara dua sampai dengan
enam tahun anak-anak menyukai buku bacaan yang didominasi oleh gambar-gambar
yang nyata. Pada usia tujuh tahun anak menyukai buku yang didominasi oleh
gambar-gambar dengan bentuk tulisan besar-besar dan kata-kata yang sederhana
dan mudah dibaca. Biasanya pada usia ini anak sudah memiliki kemampuan membaca
permulaan dan mereka mulai aktif untuk membaca kata. Pada usia 8 s/d 9 tahun,
anak-anak menyukai buku bacaan dengan komposisi ganbar dan tulisan yang
seimbang. Mereka biasanya sudah lancar membaca, walaupun pemahaman mereka masih
terbatas pada kalimat singkat dan sederhana bentuknya.
Kemudian
pada usia 10 s/d 12 tahun anak lebih menyukai buku dengan komposisi tulisan
lebih banyak daripada gambar. Pada usia ini kemampuan berpikir abstrak dalam
diri anak mulai berkembang sehingga mereka dapat menemukan intisari dari buku
bacaan dan mampu menceritakan isinya kepada orang lain.
Munandar
(1986) menemukan ada perbedaan minat anak terhadap isi cerita ditinjau dari
perkembangan usia kronologis anak. Pada usia 3 s/d 8 tahun anak menyukai buku
cerita yang berisi mengenai binatang dan orang–orang di sekitar anak. Pada masa
ini anak bersikap egosentrik sehingga mereka menyukai isi cerita yang berpusat
pada kehidupan di seputar dirinya. Mereka juga menyukai cerita khayal dan
dongeng. Pada usia 8 – 12 tahun anak menyukai isi cerita yang lebih realistik.
Munandar
juga menemukan ada perbedaan umum antara minat membaca anak laki-laki dan
perempuan dalam sifat dan tema cerita, walaupun perbedaan ini tidak bersifat
pilah sama sekali; artinya anak-anak perempuan juga menikmati bacaan anak-anak
laki-laki dan sebaliknya. Pada umumnya anak-anak perempuan menyukai buku cerita
dengan tema kehidupan keluarga dan sekolah. Anak-anak laki-laki lebih menyukai
buku cerita mengenai pertualangan, kisah perjalanan yang seram dan penuh
ketegangan, cerita kepahlawanan dan cerita humor.
Faktor
institusional memiliki pengaruh yang kuat terhadap perkembangan minat membaca
anak. Keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi, mampu menggunakan tingkat
pendidikannya yang tinggi untuk memperoleh informasi mengenai buku-buku yang
perlu untuk perkembangan kognitif dan afektif anak. Didukung oleh penghasilan
mereka yang cukup tinggi, maka orang tua dapat menyediakan buku-buku bacaan
untuk anak dengan jenis yang beragam.
Slavin
(1998) menemukan ada perbedaan aktivitas orang tua dalam membimbing anak antara
keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi dengan status sosial ekonomi
rendah. Orang tua dengan status sosial ekonomi tinggi memiliki harapan tinggi
terhadap keberhasilan anak di sekolah dan mereka sering memberi penghargaan
terhadap pengembangan intelektual anak. Mereka juga mampu menjadi model yang
bagus dalam berbicara dan aktivitas membaca. Orang tua sering membaca bersama
anak, memberika pujian kepada anak saat anak membaca buku atas inisiatif
sendiri, membawa anak ke toko buku dan mengunjungi perpustakaan dan mereka
menjadi model bagi anak dengan lebih sering memanfaatkan waktu luang untuk
membaca.
Orang tua dengan status sosial ekonomi rendah
sering memberi contoh negatif dalam berbicara, terutama saat mereka bertengkar
karena keterbatasan keuangan keluarga. Mereka juga jarang memuji anak ketika
anak membaca, bahkan orang tua memiliki pengharapan rendah terhadap
keberhasilan sekolah anak sehingga mereka tidak mau terlibat untuk membantu
pekerjaan rumah anak atau tugas sekolah yang lain. Akibat selanjutnya anak
menjadi tidak berprestasi di sekolah dan hal ini menambah tekanan keluarga
ketika orang tua dipanggil ke sekolah untuk mempertanggungjawabkan kegagalan
pendidikan anak. Nampak bahwa keluarga dengan status sosial ekonomi rendah
mengalami stres yang tinggi.
B.
Pendekatan
Stres Lingkungan
Pendekatan stres lingkungan sering
digunakan secara luas dalam psikologi lingkungan. Stresor seperti kebisingan,
kepadatan penduduk dan kesesakan, tekanan kerja, bencana alam, polusi dll
adalah lingkungan aversif yang mengancam kesejahteraan manusia. Sebagai
variabel mediator, stres didefiniskan sebagai reaksi terhadap lingkungan
aversif (Bell dkk, 1996). Reaksi tersebut meliputi komponen emosi, perilaku dan
fisiologis. Komponen fisiologis sering dinamakan stres sistemik, sedangkan
komponen emosi dan tingkah laku dinamakan stres psikologis. Karena stres
sistemik dan stres psikologis adalah saling berkaitan dan tidak terjadi
sendiri-sendiri, maka psikolog lingkungan biasanya memadukan keduanya dalam
satu teori yang dinamakan model stres lingkungan. Dalam model ini, stresor
menunjuk kepada komponen lingkungan sedangkan response stres menunjukkan reaksi
yang disebabkan oleh komponen lingkungan.
Ada tiga karakteristik utama
stresor, yaitu peristiwa kataklismik (cataclysmic events), stres personal
(personal stressors) dan stresor latar belakang (background stressors).
Kejadian atau peristiwa kataklismik memiliki beberapa karakteistik dasar, yaitu
biasanya terjadi secara tiba-tiba dengan sedikit tanda-tanda atau bahkan tidak
ada tanda-tanda akan terjadi suatu peristiwa. Pengaruhnya sangat kuat sehingga
muncul response universal dan melibatkan sejumlah besar orang. Kekuatan
kataklismik yang mendadak menimbulkan rasa bingung pada korban, biasanya
membutuhkan usaha sangat besar untuk melakukan koping secara efektif. Koping
stres yang efektif berupa afiliasi satu sama lain dengan cara berbagi pendapat
dan rasa. Bila koping tidak berhasil maka akan muncul ketidakberdayaan dan
sikap pasif. Contoh peristiwa kataklismik adalah bencana alam, perang, kebocoran
nuklir, kebakaran hebat dll.
Stresor personal meliputi kesakitan,
kematian suami atau istri atau anak yang disayangi, pemutusan hubungan kerja
dll yang biasanya dialami oleh seseorang dan membawa pengaruh yang buruk. Strategi
koping yang efektif untuk stresor personal biasanya adalah dukungan sosial.
Background stressors dibedakan
menjadi dua, yaitu daily hassles yang sering dinamakan juga stresor mikro,
bersifat stabil dan intensitasnya rendah; misalnya adalah kehilangan barang,
terlambat kerja, tekanan karena pekerjaan rumah tangga dan hal-hal lain yang
bersifat rutin; dan ambient stressors atau stresor kronis yang bersifat global,
misalnya polusi air dan udara, kebisingan, kepadatan dan kesesakan tempat
hunian, kemacetan lalulintas dll yang bersifat masalah masyarakat pada umumnya.
Smet (1994) menemukan ada beberapa
stresor dalam keluarga, yaitu perselisihan dalam masalah keuangan, perasaan
saling acuh tak acuh, perbedaan yang tajam dalam menentukan tujuan, kebisingan
karena suara radio, televisi atau tape yang dinyalakan dengan suara keras
sekali, keluarga yang tinggal di lingkungan yang terlalu sesak, dan kehadiran
adik baru. Stresor lain dalam keluarga adalah kehilangan anak yang disayangi
akibat bencana alam, kesakitan atau kecelakaan, kematian suami atau istri.
Burr dan Klein (1994) menemukan ada
enam stresor dalam stres keluarga, yaitu perekonomian keluarga menjadi
bangkrut, anak mengalami cacat fisik atau mental sehingga harus di rawat di
rumah sakit, remaja yang sulit dididik sehingga harus dibawa ke psikiater, anak
yang mengalami penyempitan otot, ketidaksuburan pasangan suami dan istri, perubahan
peran dalam rumah tangga.
Karakteristik response stres
meliputi response fisiologis, strategi koping dan adaptasi. Response fisiologis
bersifat otomatis dan menurut Selye (dalam Bell dkk, 1996) ada tiga tahap
sindrome adaptasi umum yaitu tahap reaksi alarm, tahap resistensi dan tahap
kelelahan. Reaksi alarm terhadap stresor bersifat proses otomatis, misal detak
jantung meningkat, pengeluaran adrenalin, keringat dingin dll. Tahap resistensi
juga dimulai dengan proses otomatis untuk menghadapi stresor, misal pada udara
yang panas, secara otomatis tubuh mengeluarkan keringat. Bila mekanisme
keseimbangan tidak tercapai, maka akan terjadi tahap ketiga, yaitu tahap
kelelahan yang mengakibatkan beberapa penyakit seperti tukak lambung, pembengkakan
adrenal dan gagal ginjal.
Strategi koping adalah perpaduan
antara fungsi dari faktor individu dan situasional, meliputi melarikan diri
dari stresor, serangan fisik atau verbal, dan kompromi. Pada dasarnya ada dua
kategori strategi koping, yaitu aksi langsung atau berfokuskan pada masalah,
misal mencari informasi, melarikan diri / menghindari stresor, mencoba
memindahkan atau menghentikan stresor; dan paliatif atau berfokuskan emosi,
misal menggunakan mekanisme pertahanan diri seperti penyangkalan,
rasionalisasi, reaksi formasi dll, penggunaan obat-obatan, relaksasi dll.
Adaptasi terjadi ketika stimulus
aversif muncul berulang kali dan response stres terhadap stresor menjadi makin
lemah dan bertambah lemah. Proses berikutnya setelah adaptasi adalah terjadi
aftereffects, yaitu akibat jangka panjang setelah stresor berhenti.
C.
Pengaruh
Keterlibatan Orang Tua terhadap Minat Membaca Anak Ditinjau dari Pendekatan
Stres Lingkungan
Dalam keluarga yang miskin,
penghasilan suami dan atau istri yang rendah sering menjadi pemicu pertengkaran
dalam keluarga. Akibat lebih lanjut dari pertengkaran adalah suami dan istri
menjadi saling tidak peduli. Orang tua dengan tingkat pendidikan yang rendah
ternyata sulit untuk mengendalikan kelahiran anak, sehingga jumlah kelahiran
anak menjadi bertambah (Semaoen, Hani, Kiptiyah, 2000). Kehadiran anak atau
adik baru bagi anak yang lebih tua menimbulkan stres bagi ibu dan ayah. Ibu
akan merasakan stres selama kehamilan, apalagi bila anak yang dikandung adalah
anak yang ketiga atau keempat dimana muncul rasa bersalah tidak mentaati
program Keluarga Berencana, dan pasca melahirkan. Stres pada ayah berkaitan
dengan rasa kuatir akan berubahnya interaksi antara suami dan istri dan timbul
kekuatiran akan tambahan beaya hidup.
Biasanya keluarga miskin ini tinggal
di kantong-kantong kemiskinan dengan luas rumah yang sangat terbatas, kumuh,
panas, bising dan sesak. Tinggal di lingkungan yang terlalu sesak dapat
menimbulkan stres dan akibat selanjutnya orang menjadi kurang suka menolong
orang lain (Bell dkk, 1996).
Keluarga yang tinggal di daerah slums, biasanya tetap memiliki gambaran kualitas rumah yang ideal. Mereka biasanya masih mendambakan rumah berkualitas dengan ciri-ciri adanya kontinuitas, yaitu rasa memiliki rumah secara permanen; ada privasi, ada tempat untuk mengekspresikan diri, identitas personal yaitu berkaitan dengan simbol diri mereka dan keinginan untuk menunjukkan rumah kepada orang lain; relasi sosial, kehangatan dan tempat untuk berteduh dan berlindung (Smith, 1994). Ketiadaan ruang untuk ekspresi diri, yaitu untuk mengembangkan intelektual dan kepribadian anak; maupun kehangatan yang ditandai dengan adanya suasana persahabatan dan dukungan untuk berprestasi, menghalangi orang tua untuk menolong anak dalam aktivitas membaca maupun aktivitas belajar yang lain.
Keluarga yang tinggal di daerah slums, biasanya tetap memiliki gambaran kualitas rumah yang ideal. Mereka biasanya masih mendambakan rumah berkualitas dengan ciri-ciri adanya kontinuitas, yaitu rasa memiliki rumah secara permanen; ada privasi, ada tempat untuk mengekspresikan diri, identitas personal yaitu berkaitan dengan simbol diri mereka dan keinginan untuk menunjukkan rumah kepada orang lain; relasi sosial, kehangatan dan tempat untuk berteduh dan berlindung (Smith, 1994). Ketiadaan ruang untuk ekspresi diri, yaitu untuk mengembangkan intelektual dan kepribadian anak; maupun kehangatan yang ditandai dengan adanya suasana persahabatan dan dukungan untuk berprestasi, menghalangi orang tua untuk menolong anak dalam aktivitas membaca maupun aktivitas belajar yang lain.
Perselisihan dalam keluarga,
perasaan saling tidak peduli, kesesakan karena keterbatasan luas rumah dan
terlalu banyak anak, kebisingan, kurang ruang untuk ekspresi diri dan
kehangatan merupakan stresor yang kuat dalam keluarga miskin.
Stresor ini masih ditambah dengan
adanya interaksi orang tua dengan fihak lain di luar lingkungan rumah, yaitu
tekanan kerja di tempat kerja. Ada konflik antara tuntutan kerja dengan
tuntutan keluarga. Keluarga menuntut penghasilan yang lebih tinggi untuk
menutup beaya kehidupan sehari-hari, sedangkan di tempat kerja orang tua juga
dituntut untuk lebih profesional dalam bekerja namun tidak mampu karena
keterbatasan tingkat pendidikan dan kekurangan ketrampilan kerja.
Stresor yang lain adalah pengalaman
stres anak-anak di sekolah. Orang tua jarang terlibat untuk membantu anak dalam
mengerjakan pekerjaan rumah maupun aktivitas belajar anak yang lain menyebabkan
anak tidak mampu mengerjakan pekerjaan rumah. Ketidakbiasaan membuat pekerjaan
rumah menjadikan anak tidak terlatih sehingga anak sering gagal dan
ditertawakan bila harus mengerjakan tugas di depan kelas. Dua hal ini
menjadikan anak juga mengalami stres. Orang tua juga akan bertambah stres
ketika dipanggil oleh pihak sekolah guna mempertanggungjawabkan kegagalan
pendidikan anak.
Stres dalam keluarga berinteraksi
dengan stres dari luar lingkungan rumah menimbulkan stres tingkat tinggi dalam
diri orang tua. Hal ini menyita waktu orang tua dan membuang energi dan
perhatian mereka sehingga secara psikologis mereka tidak mampu untuk terlibat
menolong anak dalam aktivitas membaca. Ketidakterlibatan orang tua dalam
aktivitas membaca mengakibatkan minat membaca anak tetap rendah (Grolnick dkk,
1997).
Penelitian Grolnick dkk ini berbeda
dengan hasil penemuan Morrow dan Young (1997) yang menemukan bahwa kegiatan
membaca bersama antara anak dan orang tuanya berpengaruh terhadap sikap dan
minat membaca anak. Melalui program membaca bersama antara orang tua dan anak,
anak-anak menjadi suka mengisi waktu luangnya dengan aktivitas membaca, mereka
suka membaca bersama orang dewasa yang lain, suka membaca majalah dan buku-buku
yang ada di rumah dan di perpustakaan sekolah.
Kondisi sosial ekonomi keluarga
dalam penelitian Morrow dan Young juga tergolong rendah, namun mereka merasa
mendapat dukungan sosial melalui program membaca keluarga. Buku-buku dan
perlengkapan membaca merupakan dukungan instrumental untuk mendidik anak,
program pelatihan untuk orang tua agar terlibat secara efektif dalam program membaca
keluarga merupakan dukungan informatif yang sangat berguna bagi orang tua untuk
memberikan dukungan penghargaan dan emosi kepada anak saat mereka membaca
bersama.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendekatan stres lingkungan dapat
digunakan untuk menolong memprediksikan bermacam-macam akibat yang ditimbulkan
oleh kerusakan lingkungan fisik, sosial maupun psikologis. Namun perlu
dicermati bahwa pendekatan stres lingkungan secara tunggal sering menimbulkan
kekaburan dalam mengidentifikasi stresor. Model stres lingkungan juga sering
sulit secara pasti memprediksikan strategi koping yang akan digunakan oleh
keluarga untuk menghadapi stresor, sebab antara satu keluarga dengan keluarga
lain mungkin berbeda walaupun tinggal dalam lingkungan dan kondisi sosial
ekonomi sama. Ketergantungan pada konteks keluarga dan adanya perbedaan
individual masih merupakan suatu tantangan psikologi lingkungan.
B.
Saran-saran
Dari ulasan singkat di atas, dapat
kita pikirkan dan kita pahami bahwa anak adalah “komponen” utama dalam suatu
keluarga. Juga merupakan objek utama pendidikan suatu bangsa. Mendidik anak
adalah tanggung jawab semua pihak. Oleh karena itu, selaku orang tua penting
kiranya agar kita dapat menumbuhkan minat baca anak. Diperlukan sebuah metode
yang dapat mudah diterapkan dan tentunya dapat diterima oleh si anak. Sehingga
dapatlah terwujud apa yang kita harapkan demi masa depan anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bell,
P.A., Greene, T.C., Fisher, J.D., and Baum, A. 1996. Enviromental Psychology.
Fourth Edition. Orlando : Harcourt Brace College Publishers.
Bell,
P.A., Greene, T.C., Fisher, J.D., and Baum, A. 1996. Enviromental Psychology.
Fourth Edition. Orlando : Harcourt Brace College Publishers.
Burr,
W.C., and Klein, S.R. 1994. Reexamining Family Stress : New Theory and
Research. California : Sage Publishers, Inc.
Burr,
W.C., and Klein, S.R. 1994. Reexamining Family Stress : New Theory and
Research. California : Sage Publishers, Inc.
Connecting
School and home : Effects on Attitude, Motivation and Literacy Achievement.
Journal of Educational Psychology, 89 ( 4), 736 - 742. 11
Grolnick,
W.S., Benjet, C., Kurowski, C.O., and Apostoleris, N.H. 1997. Predictors of
Parent Involvement in Children’s Schooling. Journal of Educational Psychology.
89 ( 3), 538 – 548.
Grolnick,
W.S., Benjet, C., Kurowski, C.O., and Apostoleris, N.H. 1997. Predictors of
Parent Involvement in Children’s Schooling. Journal of Educational Psychology.
89 ( 3), 538 – 548.
Harris,
A., and Sipay, E. 1980. How To Increase Reading Ability.. New York : Longman,
Inc.
Juel,
C. 1988. Learning to Read and Write : A Longitudinal Study of 54 Children from
First through Fourth Grade. Journal of Educational Psychology, 80 (4), 437 –
447.
Juel,
C. 1988. Learning to Read and Write : A Longitudinal Study of 54 Children from
First through Fourth Grade. Journal of Educational Psychology, 80 (4), 437 –
447.
Kompas, 1995
Lilawati,
1988. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Orang Tua, Stimulasi Membaca dari
Orang Tua dan Inteligensi dengan Minat Membaca Pada Anak Kelas V Sekolah Dasar.
Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Meichati,
S. 1978. Motivasi Pembaca. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Morrow, L..M., and Young, J. 1997. A Family Literacy Program
Morrow, L..M., and Young, J. 1997. A Family Literacy Program
Mulyani,
A.N. 1981. Pembinaan Minat Baca dan Promosi Perpustakaan. Berita Perpustakaan
Sekolah, I, 24 – 29.
Munandar,
S.C.U. 1986. Memupuk Minat Untuk Membaca. Jakarta : IKAPI.
Pikiran Rakyat, Bandung, 15 Juli 2000
Pikiran Rakyat, Bandung, 15 Juli 2000
Pikiran Rakyat, 2000
Semaoen,
I., Hani, E.S. dan Kiptiyah, S.M. 2000. Strategi Orang tua Di Perdesaan Miskin
dalam Upaya Peningkatan Kualitas Anak. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, 12 ( 1 ), 10 –
17.
Sinambela,
N.L. 1993. Hubungan Minat Membaca dengan Kreativitas Pada Siswa-siswi Kelas II
SMP Negeri 5 Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada.
Slavin,
R. 1998. Educational Psychology : Theory and Practice. Fourth Edition. Boston :
Allyn and Bacon.
Smeth,
B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT : Gramedia
Smith,
S.G. 1994. The Essential Qualities of Home. Journal of Enviromental Psychology,
14, 31 – 46.
Suara Merdeka, 1995
Suara
Merdeka, Semarang, 15 September 1995.
Wigfield, A., and Guthrie, J.T. 1997. Relations of Children’s Motivation for Reading to the Amount and Breadth of Their Reading. Journal of Educational Psychology, 89 ( 3 ), 420 – 432.
Wigfield, A., and Guthrie, J.T. 1997. Relations of Children’s Motivation for Reading to the Amount and Breadth of Their Reading. Journal of Educational Psychology, 89 ( 3 ), 420 – 432.
No comments:
Post a Comment
Leave a comment, please.......:)