Wednesday, January 22, 2014

Makalah Pendidikan Masyarakat Madani



Masyarakat Madani

“Masyarakat madani”, kita mungkin kerapkali mendengar istilah ini. Wacana masyarakat madani sebenarnya telah lama berkembang di Indonesia. Istilah ini mula-mula disampaikan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim ketika menyampaikan ceramah dalam rangkaFestifal Istiqlal II tahun1995 di Jakarta. Meski demikian, penggagas awal masyarakat  madani ini adalah Muhammad Naquib Al-Alatas yang kemudian dielaborasi oleh Nurcholis Madjid. Menurut Anwar Ibrahim, yang dimaksud masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat.
Istilah yang juga sering disebut dengan civil society (masyarakat sipil) ini secara substansial sudah ada sejak jaman Aristoteles, yakni suatu masyarakat yang dipimpin dan tunduk pada hukum. Penguasa, rakyat dan siapa pun, menurut Aristoteles, harus taat dan patuh pada hukum yang telah dibuat secara bersama-sama. Bagi Aristoteles, siapapun bisa memimpin negara secara bergiliran denga syarat ia bisa memimpin dengan adil. Dan keadilan baru bisa ditegakkan apabila setiap tindakan didasarkan pada hukum. Jadi hukum merupakan ikatan moral yang bisa membimbing manusia agar senantiasa berbuat adil. Masyarakat madani memiliki konsep yang berupa sebuah gagasan yang menggambarkan masyarakat beradab yang mengacu pada nilai-nilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi social yang kondusif bagi penciptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Di dalam masyarakat madani terdapat beberapa unsure pokok yang harus dimiliki sebagai cirri khasnya, antara lain:
     1. Wilayah public yang bebas (Free Public Sphere) sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat warga  masyarakat, karena tiap warga memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan transaksi sosial dan politik tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan dari luar.
    2. Demokrasi sebagai prasyarat mutlak bagi keberadaan civil society yang murni (genuine). Demokrasi adalah suatu tatanan sosial politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari dan untuk rakyat.
      3. Adanya toleransi, yaitu sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat.
    4. Menerima Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan sosial yang beragam, secara tulus menerima kenyataan perbedaan tersebut sebagai sesuat u yang alamiah dan rahmat Tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.
5.       Serta adanya keadilan sosial sebagai penyeimbang dan pembagi yang proporsional atas hak dan kewajiban warga Negara di seluruh aspek kehidupan.
6.       Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
7.       Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya :
1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter
4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar
6. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi
 Di dalam Islam, masyarakat madani bukanlah barang baru. Berabad-abad yang lalu, telah tumbuh dan berkembang sebuah masyarakat madani yang sangat baik. Masyarakat Saba’ yang merupakan masyarakat di jaman Nabi Sulaiman as adalah sebentuk masyarakat madani yang mula-mula tumbuh di muka  bumi ini. Namun, contoh masyarakat madani yang paling terkenal dan bisa dianggap paling sukses adalah masyarakat madani di jaman Rasulullah SAW.
Masyarakat madani di jaman Rasulullah terjadi setelah traktat perjanjian Madinah antara Rasulullah SAW beserta penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama watsani dari kaum aus dan khazraf. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur mayarakat untuk saling tolong manolong,menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasulullah sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai ajaran agama yang dianutnya.
Menurut Naquib Al Alatas, masyarakat madani adalah terjemahan dari  al-mujtam al-madani. Kata madani sendiri memiliki asal kata dari “tamaddun” yang berarti peradaban.  Di samping itu, kata madani juga mempunyai akar yang sama dengan kata madinah yang berarti kota, sehingga disini ada keterkaitan antara agama (din), kota (madinah) dan peradaban (tamaddun). Masyarakat madani sendiri seringkali disamakan dengan istilah “Civil Society” yang berasal dari khazanah pemikiran barat. Civil Society adalah masyarakat yang berperadaban, merdeka, dan penuh  pada hukum.
Menurut Nurcholis Madjid dalam tulisannya, “Menuju Masyarakat Madani”, Nabi Muhammads sendiri yang memberi teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat peradaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan, Allah memberikan petunjuk untuk hijrah ke Yastrib, kota wahah atau oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala'a al-badru 'alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi) yang kemudian dijadikan basis perjuangan menuju masyarakar peradaban yang dicita-citakan. Di kota itu, Nabi meletakkan dasar-dasar masyarakat madani yakni kebebasan.
Dalam paradigma politik sosial Islam, dengan melacak sumber-sumber doktrinalnya, ada dua kata kunci yang bisa menghampirkan kita pada konsep masyarakat madani, yakni kata “ummah” dan “madinah”. Dua kata yang memiliki eksistensi sosial kulitatif (memiliki keutamaan-keutamaan tertentu) inilah yang menjadi nilai-nilai dasar dan nilai-nilai instrumental bagi terbentuknya masyarakat madani.
Terminologi “ummah” dalam bahasa Arab menunjukkan pengertian komunitas keagamaan tertentu, yaitu kemunitas yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama. Secara umum, seperti disyaratkan dalam Al-Qur’an, terminologi “ummah” menunjukkan suatu komunitas yang mempunyai basis solidaritas tertentu atas dasar komitmen keagamaan, etnis, dan moraliatas.Dalam perspektif sejarah, “ummah” yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah dimaksudkan untuk membina solidaritas di kalangan para pemeluk Islam, kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
Kata kunci lain yang terjalin erat dengan dalam pembangunan masyarakat madani adalah “madinah”. Jika konsep “ummah” merupakan piranti lunak (software) dari cita-cita sosial Islam (masyarakat madani), maka konsep “madinah” merupakanpiranti kerasnya (hardware). “Madinah” yang berarti kota berhubungan dan mempunyai akar kata yang sama dengan kata “tamaddun” yang berarti peradaban. Perpaduan pengertian ini membawa suatu persepsi ideal bahwa “madinah” adalah lambang peradaban yang kosmopolit. Bukan suatu kebetulan bahwa kata  “madinah” juga merupakan kata benda tempat dari kata “din” (agama). Korelasi demikian menunjukkan bahwa cita-cita ideal agama (Islam) adalah terwujudnya suatu masyarakat kosmopolitan yang berperadaban tinggi sebagai struktur fisik dari umat Islam.

Masyarakat Madani di Jaman Rasulullah
Secara konvensional, perkataan "madinah" memang diartikan sebagai "kota". Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna "peradaban". Dalam bahasa Arab, "peradaban" memang dinyatakan dalam kata-kata "madaniyah" atau "tamaddun", selain dalam kata-kata "hadharah". Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab.
Tak lama setelah menetap di Madinah itulah, Nabi bersama semua penduduk Madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban.
Sistem sosial madani ala Nabi Muhammad memiliki cirri unggul, yakni kesetaraan, istiqomah, mengutamakan partisipasi dan demokratisasi. Esensi ciri unggul tetap relevan dalam konteks waktu dan tempat berbeda, sehingga pada dasrnya prinsip itu layak diterapkan, apalagi di Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim tanpa mengusik kepentingan dan keyakinan kelompok minoritas.

Masyarakat Madani di Indonesia
Masyarakat madani atau civil society secara umum bisa diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi social yang memiliki cirri-ciri antara lain: kemandirian, toleransi,keswadayaan, kerelaan tolong menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan etika yang disepakatinya secara bersama-sama. Di Indonesia, secara historis, upaya untuk merintis lahirnya intitusi semacam ini sudah muncul sejak masyarakat kita mulai bersentuhan dengan pendidikan modern, berkenalan dengan kapitalisme global dan modernisasi.pada saat itulah kesadaran masyarakat untuk mendirikan organisasi-organisasi modern mulai tumbuh pada permulaan abad 20. Maka berdirinya Budi Utomo (1908), Syarikat Dagang Islam (1911), Muhammadiyah (1912), dan lain-lain, pada batas-batas tertentu bisa dijadikan indicator bagi tumbuhnya civil society di Indonesia pada saat itu masih berada di bawah kolonialisme Belanda.
Setelah Indonesia meraih kemerdekaan, semangat civil society semakin berkembang pesat dan pemerintahan baru di bawah Soekarno bertekad untuk membangun Negara modern dengan sistem demokrasi parlementer. Berbagai peristiwa-peristiwa politik turut mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia untuk mewujudkan sebuah konsep masyarakat madani yang utuh. Dari tahun ke tahun, orde ke orde, rezim berganti, aturan demi aturan berlaku terus bergejolak dan saling beradu memenuhi jalannya roda pemerintahan dan roda kehidupan masyarakat Indonesia.
Sebagai pemimpin besar revolusi yang memimpin dengan tangan besi, Soekarno gagal melaksanakan pembangunan yang mampu mengantarkan bangsa Indonesia ke alam kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Dengan mandat (supersemar) yang diterimanya dari Soekarno, Soeharto mencanangkan Orde Baru dengan tahapan-tahapan pembangunan yang dirancangnya (Repelita). Upaya-upaya rezim orde baru dalam melakukan restrukturisasi di bidang politik, ekonomi dan sosial tentu membawa membawa dampak tersendiri bagi perkembangan civi society di Indonesia.
Di bidang sosial ekonomi, akselerasi pembangunan lewat industrialisasi barang dan jasa telah relative berhasil mengangkat pendapatan perkapita rakyat Indonesia, pertumbuhan ekonomi nasional dan tingkat pendidikan masyarakat pun meningkat secara signifikan. Tapi, perkembangna yang sam tidak terjadi di bidang politik, karena kebijakan politik Orde Baru, dengan sistem demokrasi Pancasila hanyalah kelanjutan dari demokrasi terpimpin. Posisi negara semakin kuat di segala bidang yang konsekwensinya kemandirian masyarakat dikurangi, dieliminasi dengan symbol SARAyang menjadi momok masyarakat. Masyarakat terkooptasi secara total oleh rezim.
Selaras dengan aksioma Lord Acton, “power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut)   kebijakan politik yang dijalankan Orde Baru buka saja semakin memperkuat posisi para penguasa, tapi juga member peluang kepada mereka melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Akibatnya, selain terampas hak-hak politiknya, rakyat juga tidak punya kesempatan  untuk mengembangkan aktivitas perekonomian secara bebas. Sektor-sektor penting bidang ekonomi dikuasai oleh penguasa dan para kroninya. Suatu kondisi yang membuat nasib civil society terpuruk
Secara internal, gagalnya membangun fondasi masyarakat madani disebabkan karena minusnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Namun, secara eksternal proses percepatan globalisasi budaya yang tidak mampu direspons secara berimbang akan menjangkitkan penyakit cultural shock (kekagetan budaya) secara kolektif yang berakibat pada gagalnya anggota masyarakat (secara individual) menemukan pijakan ideologis yang kuat. Dalam masyarakat yang demikian tentu saja kemandirian menjadi sikap hidup yang langka. Baik secara politis maupun secara kultural umumnya anggota masyarakat tidak memiliki kemandirian dan ketidakjelasan jati diri.
Dalam perkembangan masyarakat madani, kemandirian sebagai unsur yang paling menentukan, kiranya perlu didefinisikan dengan jelas sehingga memudahkan proses pencapaiannya. Ia tidak cukup hanya dikonsepsikan sebagai sikap tidak “begini” atau ”begitu” secara verbalistik. Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana memposisikan kemandirian sebagai suatu sistem kepribadian manusia yang sangat mendasar yang mampu melahirkan kecenderungan-kecenderungan psikologis seperti kreativitas, dinamika, prakarsa, dan inovasi yang menjadi ciri-ciri dominan dari kemandirian.
Untuk membentuk sistem kepribadian yang menjadi ciri utama masyarakat madani, diperlukan kesadaran akan eksistensi kemanusiaan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki kebebasan berkehendak dan berbuat (free will and free act) serta bertanggung jawab atas segala kehendak dan perbuatannya itu. Manusia perlu menyadari dan mengembangkan setiap potensi kerohanian yang instrinsik dalam dirinya. Di sinilah perlunya etika agama yang dapat membimbing manusia pada kesadaran akan adanya sifat-sifat Tuhan pada dirinya yang kreatif (al-khaliq), mandiri(al-qiyam binafsihi), inovatif(al-mushawwir), percaya diri(al-qohhar) dan lain-lain.
 Sumber: “Menuju Masyarakat Madani” oleh Nurcholis Madjid
Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani” oleh DR. M. Din Syamsuddin

No comments:

Post a Comment

Leave a comment, please.......:)

Wahai Diriku....

Dzikir inilah yang setiap hari paling sering kita lafadzkan....

Suamiku....suamiku
Istriku.......istriku
Anakku......anakku
Hartaku.....hartaku
Pangkatku...pangkatku

Lalu mana....
Allah-ku......Allah-ku
Selamatkan aku...Selamatkanlah aku
Ampuni aku......Ampunilah aku


uje - - - huruf kecil saja