Masyarakat Madani
“Masyarakat
madani”, kita mungkin kerapkali mendengar istilah ini. Wacana masyarakat madani
sebenarnya telah lama berkembang di Indonesia. Istilah ini mula-mula
disampaikan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim ketika menyampaikan ceramah dalam
rangkaFestifal Istiqlal II tahun1995 di Jakarta. Meski demikian, penggagas awal
masyarakat madani ini adalah Muhammad
Naquib Al-Alatas yang kemudian dielaborasi oleh Nurcholis Madjid. Menurut Anwar
Ibrahim, yang dimaksud masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur
berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu
dengan kestabilan masyarakat.
Istilah
yang juga sering disebut dengan civil
society (masyarakat sipil) ini secara substansial sudah ada sejak jaman
Aristoteles, yakni suatu masyarakat yang dipimpin dan tunduk pada hukum.
Penguasa, rakyat dan siapa pun, menurut Aristoteles, harus taat dan patuh pada
hukum yang telah dibuat secara bersama-sama. Bagi Aristoteles, siapapun bisa
memimpin negara secara bergiliran denga syarat ia bisa memimpin dengan adil.
Dan keadilan baru bisa ditegakkan apabila setiap tindakan didasarkan pada
hukum. Jadi hukum merupakan ikatan moral yang bisa membimbing manusia agar
senantiasa berbuat adil. Masyarakat madani memiliki konsep yang berupa sebuah
gagasan yang menggambarkan masyarakat beradab yang mengacu pada nilai-nilai
kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi social
yang kondusif bagi penciptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
Di
dalam masyarakat madani terdapat beberapa unsure pokok yang harus dimiliki
sebagai cirri khasnya, antara lain:
1. Wilayah
public yang bebas (Free Public Sphere)
sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat warga masyarakat, karena tiap warga
memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan transaksi sosial dan politik
tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan dari luar.
2. Demokrasi
sebagai prasyarat mutlak bagi keberadaan civil
society yang murni (genuine). Demokrasi adalah suatu tatanan sosial politik
yang bersumber dan dilakukan oleh, dari dan untuk rakyat.
3. Adanya
toleransi, yaitu sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat.
4. Menerima
Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan sosial yang beragam,
secara tulus menerima kenyataan perbedaan tersebut sebagai sesuat u yang
alamiah dan rahmat Tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.
5. Serta
adanya keadilan sosial sebagai penyeimbang dan pembagi yang proporsional atas
hak dan kewajiban warga Negara di seluruh aspek kehidupan.
6. Partisipasi sosial,
yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi,
ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan
dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
7. Supremasi hukum,
yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus
diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan
perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Adapun yang masih menjadi kendala
dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya :
1. Kualitas SDM yang belum memadai
karena pendidikan yang belum merata
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter
4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar
6. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter
4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar
6. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi
Di dalam Islam, masyarakat madani bukanlah
barang baru. Berabad-abad yang lalu, telah tumbuh dan berkembang sebuah
masyarakat madani yang sangat baik. Masyarakat Saba’ yang merupakan masyarakat
di jaman Nabi Sulaiman as adalah sebentuk masyarakat madani yang mula-mula
tumbuh di muka bumi ini. Namun, contoh
masyarakat madani yang paling terkenal dan bisa dianggap paling sukses adalah
masyarakat madani di jaman Rasulullah SAW.
Masyarakat
madani di jaman Rasulullah terjadi setelah traktat perjanjian Madinah antara
Rasulullah SAW beserta penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama
watsani dari kaum aus dan khazraf. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga
unsur mayarakat untuk saling tolong manolong,menciptakan kedamaian dalam kehidupan
sosial, menjadikan Al Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasulullah sebagai
pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan
kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai ajaran
agama yang dianutnya.
Menurut
Naquib Al Alatas, masyarakat madani adalah terjemahan dari al-mujtam al-madani. Kata madani sendiri
memiliki asal kata dari “tamaddun”
yang berarti peradaban. Di samping itu,
kata madani juga mempunyai akar yang sama dengan kata madinah yang berarti kota,
sehingga disini ada keterkaitan antara agama (din), kota (madinah) dan
peradaban (tamaddun). Masyarakat madani sendiri seringkali disamakan dengan
istilah “Civil Society” yang berasal dari khazanah pemikiran barat. Civil
Society adalah masyarakat yang berperadaban, merdeka, dan penuh pada hukum.
Menurut Nurcholis Madjid dalam
tulisannya, “Menuju Masyarakat Madani”, Nabi Muhammads sendiri yang memberi
teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat peradaban. Setelah
belasan tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan,
Allah memberikan petunjuk untuk hijrah ke Yastrib, kota wahah atau oase yang
subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah perjalanan
berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi disambut oleh
penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala'a al-badru 'alaina
(Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang
kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota
hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi)
yang kemudian dijadikan basis perjuangan menuju masyarakar peradaban yang
dicita-citakan. Di kota itu, Nabi meletakkan dasar-dasar masyarakat madani
yakni kebebasan.
Dalam paradigma politik sosial Islam,
dengan melacak sumber-sumber doktrinalnya, ada dua kata kunci yang bisa
menghampirkan kita pada konsep masyarakat madani, yakni kata “ummah” dan “madinah”. Dua kata yang memiliki eksistensi sosial kulitatif
(memiliki keutamaan-keutamaan tertentu) inilah yang menjadi nilai-nilai dasar
dan nilai-nilai instrumental bagi terbentuknya masyarakat madani.
Terminologi “ummah” dalam bahasa Arab menunjukkan pengertian komunitas keagamaan
tertentu, yaitu kemunitas yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama. Secara
umum, seperti disyaratkan dalam Al-Qur’an, terminologi “ummah” menunjukkan suatu komunitas yang mempunyai basis solidaritas
tertentu atas dasar komitmen keagamaan, etnis, dan moraliatas.Dalam perspektif
sejarah, “ummah” yang dibangun oleh
Nabi Muhammad SAW di Madinah dimaksudkan untuk membina solidaritas di kalangan
para pemeluk Islam, kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
Kata kunci lain yang terjalin erat
dengan dalam pembangunan masyarakat madani adalah “madinah”. Jika konsep “ummah”
merupakan piranti lunak (software) dari cita-cita sosial Islam (masyarakat
madani), maka konsep “madinah”
merupakanpiranti kerasnya (hardware). “Madinah” yang berarti kota berhubungan
dan mempunyai akar kata yang sama dengan kata “tamaddun” yang berarti peradaban. Perpaduan pengertian ini membawa
suatu persepsi ideal bahwa “madinah”
adalah lambang peradaban yang kosmopolit. Bukan suatu kebetulan bahwa kata “madinah” juga merupakan kata benda tempat
dari kata “din” (agama). Korelasi
demikian menunjukkan bahwa cita-cita ideal agama (Islam) adalah terwujudnya
suatu masyarakat kosmopolitan yang berperadaban tinggi sebagai struktur fisik
dari umat Islam.
Masyarakat Madani di Jaman
Rasulullah
Secara konvensional, perkataan
"madinah" memang diartikan sebagai "kota". Tetapi secara
ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna "peradaban". Dalam
bahasa Arab, "peradaban" memang dinyatakan dalam kata-kata "madaniyah"
atau "tamaddun", selain dalam kata-kata "hadharah". Karena
itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah
sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya
yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan
membangun mansyarakat beradab.
Tak lama setelah menetap di Madinah
itulah, Nabi bersama semua penduduk Madinah secara konkret meletakkan
dasar-dasar masyarakat madani, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama
dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah).
Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara
lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya
pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan
terhadap masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata,
perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban.
Sistem sosial madani ala Nabi
Muhammad memiliki cirri unggul, yakni kesetaraan, istiqomah, mengutamakan
partisipasi dan demokratisasi. Esensi ciri unggul tetap relevan dalam konteks
waktu dan tempat berbeda, sehingga pada dasrnya prinsip itu layak diterapkan,
apalagi di Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim tanpa mengusik
kepentingan dan keyakinan kelompok minoritas.
Masyarakat Madani di
Indonesia
Masyarakat madani atau civil society secara umum bisa diartikan
sebagai suatu masyarakat atau institusi social yang memiliki cirri-ciri antara
lain: kemandirian, toleransi,keswadayaan, kerelaan tolong menolong satu sama
lain, dan menjunjung tinggi norma dan etika yang disepakatinya secara
bersama-sama. Di Indonesia, secara historis, upaya untuk merintis lahirnya
intitusi semacam ini sudah muncul sejak masyarakat kita mulai bersentuhan
dengan pendidikan modern, berkenalan dengan kapitalisme global dan
modernisasi.pada saat itulah kesadaran masyarakat untuk mendirikan
organisasi-organisasi modern mulai tumbuh pada permulaan abad 20. Maka
berdirinya Budi Utomo (1908), Syarikat Dagang Islam (1911), Muhammadiyah (1912),
dan lain-lain, pada batas-batas tertentu bisa dijadikan indicator bagi
tumbuhnya civil society di Indonesia
pada saat itu masih berada di bawah kolonialisme Belanda.
Setelah Indonesia meraih kemerdekaan,
semangat civil society semakin
berkembang pesat dan pemerintahan baru di bawah Soekarno bertekad untuk
membangun Negara modern dengan sistem demokrasi parlementer. Berbagai
peristiwa-peristiwa politik turut mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia untuk
mewujudkan sebuah konsep masyarakat madani yang utuh. Dari tahun ke tahun, orde
ke orde, rezim berganti, aturan demi aturan berlaku terus bergejolak dan saling
beradu memenuhi jalannya roda pemerintahan dan roda kehidupan masyarakat
Indonesia.
Sebagai pemimpin besar revolusi yang
memimpin dengan tangan besi, Soekarno gagal melaksanakan pembangunan yang mampu
mengantarkan bangsa Indonesia ke alam kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh
rakyatnya. Dengan mandat (supersemar) yang diterimanya dari Soekarno, Soeharto
mencanangkan Orde Baru dengan tahapan-tahapan pembangunan yang dirancangnya
(Repelita). Upaya-upaya rezim orde baru dalam melakukan restrukturisasi di
bidang politik, ekonomi dan sosial tentu membawa membawa dampak tersendiri bagi
perkembangan civi society di
Indonesia.
Di bidang sosial ekonomi, akselerasi
pembangunan lewat industrialisasi barang dan jasa telah relative berhasil
mengangkat pendapatan perkapita rakyat Indonesia, pertumbuhan ekonomi nasional
dan tingkat pendidikan masyarakat pun meningkat secara signifikan. Tapi,
perkembangna yang sam tidak terjadi di bidang politik, karena kebijakan politik
Orde Baru, dengan sistem demokrasi Pancasila hanyalah kelanjutan dari demokrasi
terpimpin. Posisi negara semakin kuat di segala bidang yang konsekwensinya
kemandirian masyarakat dikurangi, dieliminasi dengan symbol SARAyang menjadi
momok masyarakat. Masyarakat terkooptasi secara total oleh rezim.
Selaras dengan aksioma Lord Acton,
“power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan
cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut) kebijakan politik yang dijalankan Orde Baru
buka saja semakin memperkuat posisi para penguasa, tapi juga member peluang
kepada mereka melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Akibatnya, selain
terampas hak-hak politiknya, rakyat juga tidak punya kesempatan untuk mengembangkan aktivitas perekonomian
secara bebas. Sektor-sektor penting bidang ekonomi dikuasai oleh penguasa dan
para kroninya. Suatu kondisi yang membuat nasib civil society terpuruk
Secara internal, gagalnya membangun
fondasi masyarakat madani disebabkan karena minusnya partisipasi masyarakat
dalam proses pembangunan. Namun, secara eksternal proses percepatan globalisasi
budaya yang tidak mampu direspons secara berimbang akan menjangkitkan penyakit cultural shock (kekagetan budaya) secara
kolektif yang berakibat pada gagalnya anggota masyarakat (secara individual)
menemukan pijakan ideologis yang kuat. Dalam masyarakat yang demikian tentu
saja kemandirian menjadi sikap hidup yang langka. Baik secara politis maupun
secara kultural umumnya anggota masyarakat tidak memiliki kemandirian dan
ketidakjelasan jati diri.
Dalam perkembangan masyarakat madani, kemandirian
sebagai unsur yang paling menentukan, kiranya perlu didefinisikan dengan jelas
sehingga memudahkan proses pencapaiannya. Ia tidak cukup hanya dikonsepsikan
sebagai sikap tidak “begini” atau ”begitu” secara verbalistik. Yang lebih
penting dari itu adalah bagaimana memposisikan kemandirian sebagai suatu sistem
kepribadian manusia yang sangat mendasar yang mampu melahirkan
kecenderungan-kecenderungan psikologis seperti kreativitas, dinamika, prakarsa,
dan inovasi yang menjadi ciri-ciri dominan dari kemandirian.
Untuk membentuk sistem
kepribadian yang menjadi ciri utama masyarakat madani, diperlukan kesadaran
akan eksistensi kemanusiaan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki
kebebasan berkehendak dan berbuat (free
will and free act) serta bertanggung jawab atas segala kehendak dan
perbuatannya itu. Manusia perlu menyadari dan mengembangkan setiap potensi
kerohanian yang instrinsik dalam dirinya. Di sinilah perlunya etika agama yang
dapat membimbing manusia pada kesadaran akan adanya sifat-sifat Tuhan pada dirinya
yang kreatif (al-khaliq), mandiri(al-qiyam binafsihi), inovatif(al-mushawwir), percaya diri(al-qohhar) dan lain-lain.
Sumber: “Menuju Masyarakat Madani” oleh Nurcholis Madjid
“Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani” oleh DR. M. Din
Syamsuddin
No comments:
Post a Comment
Leave a comment, please.......:)